Saturday 26 February 2011

Toko Buku Tolak Jual Buku Dosa Dosa Nurdin


membaca berita dibawah ini jadi heran saya
begitu kuatkah posisi Nurdin Halid sehingga toko buku saja tidak berani menjualnya?
la buku tentang Cikeas yang menyangkut presiden saja beredar bebas

Buku Dosa Dosa Nurdin Halid
Toko Buku Tolak Jual Buku Dosa Dosa Nurdin
Selasa, 22 Februari 2011 - 11:30 wib
Danang Prabowo - Okezone


YOGYAKARTA- Puluhan karyawan Galangpress menggelar aksi demontrasi di Tugu Yogyakarta. Aksi ini dilakukan sebagai protes karena toko-toko buku menolak menjual buku “Dosa Dosa Nurdin Halid”.

Dalam aksinya, mereka juga menjual buku karangan Erwiyantoro itu. Di dalam buku tersebut, Erwin memaparkan ada sembilan dosa Nurdin Halid saat menjabat sebagai ketua PSSI.

“Kami jual buku ini karena agen resmi penjual buku nasional tidak berani menjual buku ini. Padahal harganya buku Rp60 ribu, kalau di sini (Tugu,red) kami jual Rp50 ribu," kata Koordinator Galangpres Julius F Tualaka kepada wartawan, Selasa (22/2/2011).

Julius menambahkan, adanya buku ini diharapkan masyarakat luas maupun pengurus PSSI mengetahui keburukan Nurdin. "Nurdin tidak layak untuk menjabat sebagai ketua PSSI untuk ketiga kalinya. Banyak sekali kesalahan yang tidak bisa termaafkan," tegasnya.

Buku cetakan kedua ini, lanjut Julius, PT Galangpres sudah mencetak sebanyak 7.500 eksemplar. Namun, jumlah sebanyak itu sebagian besar tidak bisa diperjualbelikan di toko buku.

“Karena penjual buku nasional tidak mau menjual dengan alasan yang tidak jelas,” keluhnya.
Selain melakukan promosi, mereka juga mengusung spanduk dan melakukan orasi. Aksi jual buku ini akan berlangsung selama persediaan buku habis.

"Kami akan lakukan promo ini di beberapa kota di antaranya Jakarta, Malang, Surabaya, dan Semarang. Aksi jual buku ini akan berakhir pada konggres PSSI di Bali nanti," kata Julius.(kem)

Thursday 24 February 2011

Meluruskan Masalah Film Impor

artikel menarik yang saya temukan dari sini
Deddy Mizwar-Rudy Sanyoto: Meluruskan Masalah Film Impor

Oleh Lisabona Rahman
Kajian :: Selasa, 22 Pebruari 2011

Tulisan ini merupakan rangkuman dari pernyataan yang dibuat Deddy Mizwar dan Rudy S Sanyoto. Kedua nama ini adalah Ketua dan Wakil Ketua BP2N, namun pernyataan ini disampaikan sebagai pandangan mereka sebagai pribadi.

Berikut adalah isi pernyataan yang mereka sampaikan dalam jumpa pers tentang kebijakan film nasional dan masalah pajak film impor di Gedung Sapta Pesona, Kementrian Budaya dan Pariwisata di Jakarta pada Minggu 20 Februari 2011.


Karena di TV, Radio, koran, dan di twitter ramai tentang Hollywood akan berhenti mengirim film ke Indonesia, dengan alasan ada peraturan/regulasi baru, mereka akan dikenakan pajak yang tinggi (tanpa menerangkan nomer dan tanggal peraturan yang dimaksud), maka perlu diluruskan hal-hal sebagai berikut:

I. Tidak ada peraturan/regulasi baru yang akan mengenakan pajak yang tinggi dan merugikan usaha mereka, tapi SURAT EDARAN (SE) Dirjen Pajak No. 3 tanggal 10 Januari 2011 hanya menegaskan agar mereka (importir dan Hollywood) harus bayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan (UU pajak dan UU Kepabeanan) yang ada dan berlaku.

Dengan demikian :

* tidak merugikan negara dan bangsa Indonesia.
* keberadaan film asing tidak menekan perkembangan film nasional.
* tidak ada yang menjadi korban karena dianggap menyalahgunakan wewenang membantu penghindaran/penggelapan pajak impor film.

II. Pernyataan Noorca Massardi bahwa importir bayar 23,75% itu menyesatkan, seolah-olah telah kena beban yang tinggi, karena tidak diterangkan 23,75% itu terdiri dari pajak apa saja dan dari nilai berapa?

23,75% terdiri atas:

* BM (Bea Masuk): 10% dari Nilai Pabean.
* PPN (Pajak Pertambahan Nilai): 10 % dari (Nilai Pabean + BM) = 11% dari Nilai Pabean,
* PPH (Pajak Penghasilan): 2,5 % dari (Nilai Pabean + BM) = 2,75 % dari Nilai Pabean,

Nilai Pabean adalah nilai transaksi yang sebenarnya, yang dibayar atau akan dibayar untuk memperoleh barang/jasa yang diimpor tersebut. Nilai Pabean (NP) menjadi Nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak.

Berapa nilai pabean yang importir dan Hollywood laporkan ketika mengimpor? Wajar dan sudah benar sesuai peraturan yang berlaku?

Selama ini MPA dan importir telah mengelabui pajak dan Bea Cukai dengan mengaku hanya beli/jual dengan harga US Dollar (USD) 0,43/meter; atau + USD 1,000/copy, sehingga kalau mengimpor 1 judul film dengan jumlah:

* 1 copy (NP = USD 1,000), pajaknya 23,75% = USD 237,50 atau + Rp.2,1 juta.
* 5 copy (NP = USD 5,000), pajaknya hanya Rp. 10 juta?
* 30 copy (NP = USD 30,000), pajaknya hanya Rp. 60 juta?
* 50 Copy (NP = USD 50,000), + Rp 500 juta: Pajaknya USD 11,875 = + Rp. 110 juta.

Jadi rata-rata per copy hanya sekitar Rp 2 juta? Apa kata Dunia?

Sebagai perbandingan, Beban Pajak untuk film nasional:

* PPN per copy film = Rp. 1 juta (10% dari sekitar Rp. 10 juta),
* Rata-rata per judul 35 copy, dari cetak copy saja kena PPN Rp 35 juta?
* Kalau mencetak 100 copy, PPN yang harus dibayar mencapai Rp. 100 juta (biasanya untuk film besar atau menarik, yang ingin beredar serentak agar dapat meraup hasil edar yang cukup banyak, sehingga mampu mengembalikan biaya produksinya yang besar)
* Rata-rata beban pajak produksi film nasional adalah 10% dari budget, sehingga:
o ketika anggarannya Rp 5 milyar, beban pajaknya mencapai 500 juta, dan
o ketika anggarannya makin besar misalnya Rp. 15 Milyar, pajaknya mencapai Rp. 1,5 milyar. (beberapa kali lipat dari beban pajak film impor?)

III. Rupanya selama ini importir dan Hollywood tidak melaporkan harga transaksi jual/beli film impor secara benar. Mereka hanya melaporkan Nilai Pabean senilai biaya cetak copy-nya saja = USD 0,43/meter. Padahal Harga beli film tersebut bukan hanya itu, karena ada yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar prosentase (%) tertentu dari hasil edar film tersebut.

Nilai Pabean dilaporkan sama untuk semua filmnya, baik yang blockbusters (produksi mahal dan peredaran sukses), maupun yang biasa-biasa saja (produksi murah dan peredarannya tidak sukses). Aneh? Sangat wajar, kalau dikoreksi Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak?

Menurut UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan, Nilai Pabean adalah Nilai Transaksi yang sebenarnya, yaitu yang dibayar atau yang akan dibayarkan oleh importir. Hasil edar yang wajib disetorkan ke Luar Negeri adalah komponen harga/nilai transaksi, sebagai suatu syarat dari perolehan hak edar film impor di Indonesia, (istilah pabeannya = Proceeds), harus dimasukan dalam nilai pabean yang harus diperhitungkan ketika membayar Bea Masuk (BM) dan PPN serta PPH ketika mengimpor film.

BM hanya 10% total pungutan impor 23,75% dari Nilai Pabean, maka Nilai nominal pajak akan makin membesar seiring dengan besarnya hasil edar film tersebut, sehingga sebesar apapun tetap tidak mungkin memberatkan, karena mereka masih memiliki 76,25% yang menjadi bagian importir/Hollywood.

Karena PPN dapat dikreditkan, PPH dapat diperhitungkan untuk PPH badan, maka yang benar-benar jadi beban importir film hanya BM 10% dari Nilai Pabean.

Perhitungan

Pelaksanaan dari UU Kepabeanan secara konsekuen dan benar, dapat kita lihat dari perhitungan sebagai berikut:

Data Box Office Mojo, (terlampir):

Hasil edar 65 judul film Hollywood di tahun 2010 = USD 85 juta (Rp.765 milyar)
atau rata-rata per copy USD 1,3 juta (Rp. 11,8 milyar).

Kalau 50% setor ke LN, dan itu dianggap Nilai Pabean (NP):

* NP per tahun = USD 42,5 juta (Rp 382 juta, dengan kurs Rp. 9.000/USD).
* NP per judul = USD 653 ribu (Rp 5,9 milyar)

Maka total pungutan impor sebesar 23,75% dari NP :

* per tahun = Rp 91 Milyar;
* per judul = Rp.1,4 Milyar;

Jumlah itu masih kecil sekali jika dibandingkan hasil edar film tersebut, sehingga tidak lazim meminta keringanan, apalagi mengajukan boikot, karena setelah dikurangi dengan Pungutan Impor, keuntungan film impor =

* per tahun : Rp (765 - 91) = 654 Milyar?
* per judul : Rp (11,8 - 1,4) = 10,4 Milyar?

Maka yang benar-benar jadi beban importir hanya Bea Masuk 10% dari Nilai Pabean, yaitu:

* BM per tahun = Rp 38,2 Milyar
* BM per judul = Rp.58juta;

Jadi, beban untuk pengimporan film asing masih kecil sekali dibandingkan hasil edar/keuntungannya; Beban tersebut juga masih lebih kecil (hanya 1/3) dibandingkan tarif di Thailand yang mencapai Rp 1,5 Milyar/judul.

Jadi permasalahannya adalah importir dan/atau Hollywood terbukti selama ini bayar pajak impor terlalu rendah, dengan cara melanggar ketentuan yang berlaku. Mereka telah melakukan self assesment yang salah. Bukan pemerintah yang menambah pajak dengan mengeluarkan peraturan pajak baru. Justru sangat tidak wajar kalau pemerintah tidak mengoreksi hal ini.

Mereka tentunya terancam akan ditagih hutang pajak yang bertumpuk sekian tahun, kemudian ketakutan ditagih sekaligus (plus bunga dan dendanya). Mungkinkah ini yang dimaksud sdr. Noorca Massardi bahwa pemerintah akan mengenakan pajak yang besar? Dia mendahului keputusan dinyatakan bersalah berdasarkan hasil audit Bea Cukai dengan cara ‘mencak-mencak mendiskreditkan pemerintah’, membangun opini publik, menciptakan ketakutan hilangnya film Hollywood dari bioskop dan ketakutan bioskop akan hilang dari Indonesia. Padahal seharusnya kita yang ‘mencak-mencak’, karena mereka selama ini telah berbohong dalam rangka menghindari pajak.

Akan berhasilkah mereka tidak dikejar kewajiban bayar hutang pajak sesuai ketentuan yang berlaku? Masihkan mereka mampu mengelabui petugas Bea Cukai dan Petugas Pajak sehingga tidak usah bayar pajak yang benar? Wajarkah beban pajak untuk film impor lebih kecil dari pajak untuk film nasional?

IV. Pernyataan Sdr. Noorca Massardi bahwa didunia ini tidak ada yang mengenakan pajak yang besar atas film impor adalah kebohongan besar.

Thailand mengenakan bea masuk (belum termasuk PPN) tinggi dan importir serta Hollywood serta semua produser asing yang ekspor ke Thailand terbukti tidak protes.

Tarifnya :
Per meter: 30 baht atau sekitar USD 1/meter,
Per copy @ 3000 m = USD 3.000.
Per judul @ 50 copy = 50 X 3.000 = USD 150.000 atau sekitar Rp 1,5 milyar.

Jumlah ini kelihatan besar tapi masih wajar karena :
Jumlah ini tetap tidak berat bagi importir dan Hollywood, karena film Hollywood seperti Avatar bisa memperoleh hasil edar Rp 70 milyar? Setelah dipotong BM Rp. 1,5 milyar masih untung Rp. 68,5 milyar.

Kalau hasil edar film impor diperkirakan tidak mencapai lebih dari Rp 1,5 milyar? Kalau memang tidak mau atau takut rugi seyogyanya tidak perlu impor bukan? Layar bioskop yang ada lebih baik untuk memutar film indonesia.

V. Sesuai dengan Pernyataan Presiden di sidang kabinet tanggal 23 Desember 2010 dan sesuai dengan UU no. 33 tahun 2009 tentang perfilman, kebijakan perfilman menyangkut film impor dan pajak impor yang harus dibayar sudah waktunya dibenahi demi eksistensi dan kemajuan kualitas dan kuantitas perfilman nasional serta perwujudan perannya sebagai alat pendidikan dan benteng budaya.

MPA juga pernah menggertak pemerintah Thailand ketika akan dikenakan pajak tinggi, tapi kemudian mereka balik lagi dan membayar pajak yang tinggi. Jadi, kelakuan MPA memang suka ‘gertak-boikot’. Masyarakat dan Pemerintah jangan terpengaruh, karena mereka akan jual mahal dan tidak menghormati hukum yang berlaku.

Di Indonesia mereka sudah senang karena tanpa quota. Bisa bebas mendatangkan filmnya dalam jumlah judul yang tidak terbatas Di Cina, hanya boleh 20 judul saja per tahun untuk seluruh film asing.

VI. Sebaiknya diberlakukan saja ketentuan yang ada. Kalau mereka tidak mau, masih banyak film asing independen yang bagus dan belum beredar di Indonesia.

Jakarta, 20 Februari 2011

Saturday 12 February 2011

Website Grader - tools buat ranking web


Pagi ini mencoba fasilitas gratis dari web site Grader

hasilnya cukup lumayan tapi perlu perbaikan di sana sini agar website Sahabat Buku semakin menarik banyak pengunjung.