Indonesia adalah negara yang rawan bencana, mulai dari Tsunami,Gempa Bumi, Gunung meletus, angin topan, kebakaran, banjir, tanah longsor dll.
tapi apakah negara kita sudah mempunyai manajemen bencana dengan baik?
berikut hasil diskusi di milis Logic-ID.
----------------------------------------------------------------------------------------
Rekan2 LOGIC,
Sedikit sharing saja.
Saya amati dr berbagai berita, terutama di Mentawai, proses distribusi bantuan mengalami hambatan hebat, terutama oleh faktor cuaca, sehingga transportasi laut dan darat tdk bisa maksimal. Pagi ini di TV jg memberitakan, msih banyak kntong pengungsian yg belum terjamah oleh bantuan, jadi mereka berthn dengan cara mereka sendiri.
Peraturan ttg logistik kebencanaan sebenarnya sudah ada yakni Peraturan kepala BPNB No. 13 tahun 2010 yg mengatur beberapa hal:
- SOP (semua proses dr A-Z)
- Sistem informasi dan komunikasi
Sayangnya, dilapangan sangat ditentukn oleh banyak faktor alam, manusia dll.
Ada yg bisa share? Menurut saya, masalah logistic ini sangat penting. Inilah “RUH” sesungguhnya dr proses evakuasi, rehabilitasi dan kontruksi.
Salam,
Nurhadi
AFAIK, untuk bencana yang cepat mulai dari tahapan peringatan dini, emergency,rehabilitasi, pembangunan ulang, mitigas bencana dan khusunya untuk tahapan emergency, saya bisa share sedikit :
-tahap emergency dimana butuh bantuan cepat untuk mempertahankan hidup seperti air bersih, makanan, obat-obatan, pakaian, tenda dll. Untuk tahapan ini memang perlu kesigapan logistk yang cepat. Kondisi geografis Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri proses logistic apalagi kalau semuanya harus dikirim dari Jakarta L. Dalam kehidupan bermasyarakat, dan khususnya masyarakat muslim menyatakan bahwa tetangga adalah saudara dan lebih mengetahui kebutuhan yang diperlukan korban (kasus gempa Armenia, banyak obat-obatan yang tidak dapat digunakan).
Proses logistic untuk bencana yang tercepat untuk geografis Indonesia menggunakan analogi tetangga di atas, misalkan pada level provinsi/kabupaten/kotamadya menyiapkan rencana kontingensi untuk logitik bencana jika tetangga-nya mengalami bencana khususnya pada bagaimana melakukan transportasi dan distribusi.
Kita pernah melakukan penelitian sederhana mengenai alokasi bantuan untuk case gempa Yogyakarta 2006 dimana bantuan tercepat dihitung dari tetangga-nya (kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah) dari sisi besaran bantuan untuk fase emergency dan rehabilitasi awal kekurangan kurang lebih 50% diambil dari area lain di Indonesia (asumsi : dari donasi 2.5% setiap orang pekerja aktif – BPS 2006, UMR 2006, prioritas korban selamat).
-Mengenai logistic bencana yang diatur dalam peraturan dulu saya pernah baca lebih banyak bersifat administratifnya mengenai pelaporan-pelaporan penerimaan dan alokasi bantuan (bukan Peraturan kepala BPNB No. 13 tahun 2010).
Salam
diditdr
TI - UTama
Salam hangat pak Nurhadi.
menambahkan pandangan Bpk.tentang kecepatan tanggap darurat keadaan bencana, saya pikir kita bisa menggunakan manajemen pertempuran/peperangan, pertama ; Hrs ada tim pionir yg bisa bergerak paling lambat 1 x 24 jam. tugasnya membawa peralatan P3K, perbekalan secukupnya, peralatan telekomunilasi, GPS, dll peralatan survival lainnya. tugas utamanya membuat peta keadaan setempat yg langsung dilaporkan ke-POSKO pusat. memberikan laporan tentang keadaan setempat, cuaca, kondisi korban, dan hal-hal yg terkait dgn itu.
sementara di-POSKO disiapkan segala sesuatunya berdsrkan laporan Tim pionir tsb. kemudian Tim kedua melakukan action sesegera mungkin ketempat tujuan.(melalui darat jika kondisi memungkinkan, melalui dropping udara, atau melalui laut) segala upaya dilakukan secepat yg bisa dilakukan kalau bisa tdk kurang dari 12 jam. disini peranan logistik sangat menentukan, disamping kesiapan personil tentunya.
Tim kedua ini hrs terdiri dari personil logistik, medik, telekomunikasi, dan dapur umum. minimal membawa perbekalan utk 1 minggu survival.
Wah, maaf terlalu teknis ya pak. nanti disambung lagi ya pak.
terima kasih atas perhatiannya. ada yg bersedia menambahkan ???
Dears all,,,,,
- Seleksi (inventarisasi), dalam waktu yang sangat pendek harus dapat menyusun dan memilih kebutuhan barang bantuan. Perencanaan atau proses seleksi yang tidak baik akan berakibat kebutuhan barang bantuan akan mengalami kekurangan atau akan berlebih (pemborosan). Dalam keadaan bencana, barang bantuan cukup banyak namun belum tentu bantuan tersebut akan sesuai dengan apa yang diperlukan didaerah bencana. Sehingga, barang bantuan tersebut harus selalu dipertimbangkan dan dikaji lebih teliti kemanfaatannya.
3. Penyimpanan, dalam waktu yang singkat harus menyediakan tempat penerimaan, penyimpanan, pengamanan barang bantuan. Permasalahan pada aktivitas ini cukup komplek disisi lain tempat dan SDM sangat minim, sedangkan barang bantuan yag diterima volumenya besar dan datang dalam waktu relatif bersamaan, baik dari pengadaan sendiri maupun bantuan-bantuan dari donatur. Padahal sebagai penerima barang harus diteliti: labelnya, packingnya, jenis barang, jumlah tiap jenis barang, rusak/tidak, batas kedaluarsa, ada/tidaknya persyaratan khusus penyimpanan. Pemeriksaan ini menyita waktu tidak sedikit dan memerlukan SDM. Banyak dijumpai bantuan dari luar negeri datang dengan label yang tidak dapat dibaca karena memakai tulisan Negara pemberi bantuan, atau berupa barang sisa dengan batas kadaluarsa yang pendek atau bahkan sudah kedaluarsa. Barang bantuan semacam ini akan menjadi beban negera penerima karena harus menyediakan tempat untuk barang tidak berguna dan menyediakan biaya untuk menghapuskan atau memusnahkan barang-barang tersebut.
4. Distribusi, dalam waktu yang singkat harus mendistribusikan barang bantuan kedaerah-daerah yang memerlukan barang bantuan. Masalah dalam hal distribusi kedaerah yang tidak terjangkau oleh sarana transportasi karena sulit untuk mencapainya, hal ini memerlukan bantuan untuk menggunakan alat transport udara, sedangkan transport udara untuk beberapa daerah sangat terbatas keberadaannya dan jumlahnya.
5. Administrasi, dalam situasi serba darurat harus menyiapkan pencatatan dan pelaporan pemakaian barang bantuan. Pencatatan dan Laporan sering dianggap sebagai penghambat pemenuhan permintaan barang,sehingga sering diabaikan oleh pengguna atau pengirim barang bantuan. Sebenarnya data yang didapat dari penggunaan barang bantuan merupakan umpan-balik untuk perencanaan mendatang, untuk mengetahui seberapa besar nilai bantuan yang telah terserap, jenis barang bantuan apa saja dan berapa banyak telah digunakan atau didistribusikan, dsbnya. Hal lain yang sering dijumpai adalah setelah barang disampaikan kepengguna barang tersebut dianggap sudah habis digunakan, padahal terdapat beberapa kemungkinan, yaitu memang habis digunakan atau didistribusikan, tidak habis digunakan dan sisanya ditimbun, atau bahkan disalah gunakan.
Tambahan
Dear All,
Terkait dengan kondisi tanggap bencana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, dan lokasi tersebut ada yang berdekatan dengan zone Industri, maka kiranya perlu juga ada sharing tentang emergency response procedures untuk proses operasional logistik.
Bagi Logisticians, akan sangat dibutuhkan informasi terkait:
1. Jika lalu-lintas udara & laut di tutup, apakah masih layak menggunakan jalur darat atau jalur alternatif lainnya?
2. Pemahaman tentang prosedur evakuasi saat gempa bumi & bencana lainnya terjadi, karena jika timbul kepanikan di dalam pabrik, gudang, atau kantor, bisa menimbulkan masalah besar, apakah safety talk dan simulasi tanggap bencana juga sudah menjadi bagian dari keseharian kita bekerja?, karena menilik dari kepanikan yg terjadi di gedung2 kantor saat gempa melanda Jakarta tahun 2009 misalnya, terlihat pengetahuan tentang ini masih terbatas di para professional tsb.
3. Panduan singkat, padat, & jelas bagi semua crew perusahaan; baik di kantor atau di lapangan, dalam 1 - 2 lembar flow chart petunjuk singkat; jika terjadi banjir, gempa, tsunami, gunubng meletus, kepanikan hingga kerusuhan massa, lalu ada berada di tengah kondisi tersebut, apa yg harus dilakukan, siapa yg harus dihubungi, dsb, dsb.
4. Sikap industri yang dapat saja membuat keputusan sendiri, tegas namun aman, daripada reaktif menunggu masalah terjadi: case study sikap otoritas perhubungan Indonesia saat ini: apakah menutup bandara atau buka tutup saja saat musibah gunung Merapi saat ini, hanya berhitung untung-rugi operasional bandara, padahal negara2 Uni Eropa sepakat menutup bandara beberapa hari saat gunung di Iceland meletus. Ketegasan beberapa maskapai penerbangan asing untuk menghentikan penerbangan ke Indonesia adalah contoh keberanian bersikap industri jasa ini, tidak apa2 merugi daripada mendadak ada pesawat jet penumpang yang membawa sekian ratus penumpang dan ratusan cargo udara berharga crash akibat mesin pesawatnya mendadak rusak terganggu debu bahkan material vulkanik gunung merapi yg mendadak meletus saat pesawat tersebut melintas.
5. Literatur tentang emergency response procedures & disaster preparadness sebenarnya banyak, tapi saya lihat belum ada yg benar2 di desain untuk aplikasi yg cocok bagi industri Indonesia.
Kalau boleh usul, ALI bisa mengundang praktisi tanggap bencana dari PMI, UN, atau BNPB untuk sekedar sharing mengenai hal ini, karena komunitas logistik dan industri juga masyarakat yg ingin tahu in details apa itu proses disaster preparadness, dan kita2 boleh hadir gitu sbg audiens dalam acara tsb :).
Salam,
Deni Danasenjaya
No comments:
Post a Comment