Showing posts with label transportasi. Show all posts
Showing posts with label transportasi. Show all posts

Monday 19 September 2011

Menghitung Ongkos Logistik

Diskusi dr milis Logic-ID
-----------------------------------------------------
Ongkos logistik yang mahal dan kebijakan pemerintah

Rekans ysh.,

Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyatakan bahwa biaya logistik di Indonesia adalah tinggi dan menjadi sumber ekonomi biaya tinggi. Kalau diukur dari PDB maka ongkos logistik Indonesia antara 20-25%. Kalau diukur dari harga jual produk, ada yang mengatakan bahwa ongkos logistik sekitar 25-30% dari harga jual produk ke pelanggan. Pertanyaan yang menggelitik: Apakah memang demikian? Mengapa ongkos logistik yang tinggi itu terjadi? Kebijakan apa yang perlu diterapkan oleh Pemerintah untuk menurunkan biaya logistik?

Mari kita lihat apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain.
Logistik mempunyai dua mata pisau: sebagai pemampu yang memungkinkan terjadinya transaksi dan sebagai beban biaya yang harus dikeluarkan. Semakin tinggi nilai tambah dari waktu, lokasi, dan kuantitas dari kegiatan logistik, maka semakin baik bagi perputaran ekonomi. Di lain pihak, semakin panjang rantai logistik, maka semakin mahal. Bagaimana mengatahui bahwa rantai logistik itu mahal? Salah satunya adalah dengan menggunakan metode waktu/biaya - jarak yang menggambarkan keterkaitan biaya dan waktu dalam proses transportasi (lihat http://www.unescap.org/ttdw/common/TFS/ImprovingTx/VV1/All/Introduction-Time-Cost.asp). Kalau garis transportasi semakin vertikal maka ada yang tidak beres pada transportasi. Ada hambatan atau kemecetan yang perlu diselesaikan. Identifikasi di mana masalah adalah langkah pertama dalam mencari solusi.

Apakah sudah ada studi yang mengukur mahalnya biaya logistik? Hasil penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat (LPEM UI) pada tahun 2005 menunjukkan biaya logistik di Indonesia mencapai 14,08 persen dari total biaya produksi, sementara di Jepang hanya 4,08 persen (lihat http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2005/09/12/brk,20050912-66475,id.html). Apakah ini data yang valid?

Mengapa ongkos logistik mahal?
- apakah karena konektivitas yang jelek terutama prasarana jalan, pelabuhan, dan antar moda?
- regulasi (aturan main) yang tidak jelas? siapa yang bertanggung jawab atas penurunan biaya, apa insentif bagi perbaikan?
- perilaku manusia (kartel dan perkoncoan ataupun kong-kalikong) pada prinsipnya bagi-bagi rejeki?
- lemahnya teknologi termasuk ICT?

Bagaimana memperbaiki keadaan? Dari sisi perusahaan dapat menerapkan pembiayaan logistik (lihat https://fisher.osu.edu/supplychain/pdf_files/SCCOSTING.pdf) yakni bagaimana bisa memperbaiki waktu, mutu, biaya, dan fleksibilitas.

Kalau antar perusahaan (dalam level industri secara keseluruhan), dapat dilakukan perbaikan dalam arena: kolaborasi, segmentasi, koordinasi, optimisasi sistem, standardisasi, dan liberalisasi. (lihat http://www.cefic.org/Documents/IndustrySupport/supply_chain_excellence.pdf).

Apa kita-kita jawaban kita bila ada yang bertanya kebijakan apa yang dapat dijalankan Pemerintah Indonesia (mungkin kementrian perhubungan) dalam menekan mahalnya ongkos logistik ini?

Salam,
Togar

------------------------------------------------------------------------------------------------
Terimakasih prof Togar atas pemicu idenya..
Ada beberapa pertanyaan saya:
1. Sebenarnya bagaimana menghitung ongkos logistik sebuah barang? Sehingga kita bener-bener tahu seberapa mahalnya?
2. Tentang peran pemerintah. Kalau melihat master plan pengembangan ekonomi indonesia - uu no 32 thn 2011, ada bbrp kementerian yg tergabung untuk membenahi sist perekonomian, termasuk di antaranya sist logistik. Nah, salah satunya kementerian perdagangan. Apa peran yg sebaiknya mereka ambil? Tentunya selain kementerian perhubungan..

Mohon pencerahannya..
Terimakasih

Rini
-----------------------------------------------------------------------------------
Dear Rini dan Rekan-rekan Di Logic,
Dear Prof Togar,
 
Mohon izin untuk menjelaskan.
 
Rekan-rekan sekalian, sampai saat ini kita masih terpaku atau terikat pada paradigma bahwa biaya logistics itu mahal, kata-kata mahal ini sesungguhnya sesuatu yang rancu atau bias, karena yang selalu menjadi dasar adalah logistics cost biaya logistics negara lain yang semua kondisinya sangat berbeda dengan negara kita, ini benang merah yang harus kita pahami, karena pemerintah kita dengan negara lain berbeda, korupsi negara kita, berbeda dengan negara lain, kondisi geografis kita berbeda dengan negara lain, ICT negara kita juga berbeda dengan negara lain, harga barang-barang kita juga berbeda dengan negara lain, dasar-dasar inilah yang sesunggunya harus kita pahami pada saat kita memberikan ukuran tentang mahal tidaknya sebuah biaya logistics.
 
Mari semua kita samakan persepsi kita dalam dunia logistics aplikatif, bahwa biaya logistis selalu diukur dari harga jual sebuah barang, dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan logistics. kemudian kita masuk kepertayaan diatas, Logistics costnya itu meliputi apa saja?:
 
Secara umum, logististics cost bisa kita kelompokkan dalam 2 kelompok besar yaitu;
1. Biaya logistics untuk keperluan produksi atau kita sebut Inbound Logistics cost, yang meliputi biaya logistics untuk kegiatan import row material - produksi.
2. Biaya Outbound Logistics, yaitu biaya yang dikeluarkan dari mulai produksi - end user/customer.
 
Semua aspek yang masuk didalam 2 kegiatan besar di atas, apakah itu WH ( RM, FG, Hub, dll ), kemudian Transport ( Primary, secondary ) biaya IT, biaya Handling, dll dihitung dalam satu kesatuan, kemudian dibandingkan dengan harga jual product yang dihandle.
 
Rasio secara umum adalah :
  1.  Consumer Goods : 1% - 7%. 
  2. Electronics : 3% - 10%.
  3. Mining, Oil & Gas : 0.5% - 3%.
  4. Automotive : 0.5% - 3%.
  5. Chemical : 3% - 7%.
  6. Textile : 2% - 7%.
  7. Pharmaceutical : 0.25% - 3%.
  8. Others : 1% - 7%.
 Semakin rendah harga suatu product, semakin besar volume atau kemasannya dan semakin luas jaringan distribusinya, maka akan semakin tinggi rasio biaya logisticsnya.
Penyebaran product hanya di pulau Jawa, tentu logistics costnya akan lebih murah dibandingkan dengan product yang penyebarannya diseluruh Indonesia ( catatan harga jual sama ). dst.
 
Prof Togar, mohon maaf kalau masih ada yang kurang.
Semoga penjelasan diatas, bisa membantu memberikan pencerahan kepada rekan-rekan sekalian. Jika Logistic cost merasa tinggi, bandingkanlah dengan product sejenis dari perusahaan yang lain, yang area distribusinya juga sama.
 
Terima kasih,
Regards,
Sugi Purnoto
MLI

---------------------------------------------------------------
Dear Pak Sugi dan Bapak/Ibu lainnya.
 
Jika saya lihat pemaparan ini, rasio yang diberikan Pak Sugi mendekati dengan rasio logistic cost (outbound) yang saya jalani sabagai praktisi di FMCG untuk pengiriman ke seluruh Indonesia (domestic).
Rasio ini hanya sampai mata rantai pemindahan hak penyerahan barang yang biasanya di level Distributor, Retail Besar atau Modern Trade.
 
Saya kira ongkos logistik yang dimaksud oleh Pak Togar adalah secara makro yaitu inbound & outbound serta sampai level end user.
 
Atau ada pandangan lain dari rekan2.
 
Salam,
Yaswandi Kardi

-----------------------------------------------------------------------
Salam pak Togar,

Di tempat saya bekerja, rata-rata logistic cost berkisar 17%-20% dimana alokasi terbesar pada biaya gudang. Ini pun masih jauh dan belum menggunakan sistem transportasi maupun pergudangan secara modern. Ini masih di luar biaya sistem ERP yang mendukung logistik dimana penggunaan SAP termasuk cukup besar kontribusinya pada biaya secara keseluruhan. Kadang terasa memprihatinkan, pakai SAP kok tidak optimal infrastrukturnya...

Meski tidak memiliki data akurat, saya melihat bahwa pergudangan menjadi biaya besar dalam bisnis kami - karena transaksi distribusi tidak seperti consumer goods - salah satunya dipicu tingginya biaya gedung yang saya lihat bukan saja kompleksitas masalahnya seperti tingginya harga bahan bangunan, rumitnya perizinan, biaya konstruksi, biaya maintenance yang mahal karena harga spare part pendukung pun tidak murah (misal, harga batere forklift saja yang second bisa mencapai 40 jt untuk forklift 2 ton), belum lagi hak guna bangunan di negara ini hanya 1/3 dari China (70 th) apalagi Thailand (80th), dan juga tambahan angka 'catutan' selama pembangunan gudang. Di Pulogadung, gudang baru hanya dengan fasilitas docking bisa lebih dari 60 ribu per meter tanpa ERP! Sewa pergudangan menjadi sangat mahal dan tidak kompetitif sehingga banyak perusahaan 3PL service berkelana mencari land lord ke pinggiran-pinggiran meski mereka punya nama besar di dunia internasional.

Mengenai transportasi, saya masih menggunakan jasa transporter yang jauh dari kelas dunia, tanpa tracking, kalau mau tahu tracking ya telp dulu, beberapa jam baru tahu statusnya, masih lemah safetynya dan jangan bermimpi punya laporan compliance CO2 report Euro II meski dari principle kami memintanya. Ini terjadi bukan saja karena beratnya menanggung target penurunan biaya atas logistic cost dan terlalu besarnya gap biaya antara transporter dengan service level yang 'hanya' sedikit di atas servicenya. Sebagai contoh, transporter kami sanggup mengganti 100% barang hilang tapi tanpa traceability via internet seperti transporter lain, padahal jika dibandingkan, biaya pengiriman ke Surabaya 'cuma' 25% dari kebanyakan transporter. Tentu para pengusaha truk tahu persis soal rute balikan. Tentu saja para pengusaha truk masih berani memainkan harga lebih rendah asal tidak ada tembak2an SIM, KIR, tebar kotak korek api, harga spare part truk sepanjang jalan plus jalan mulus tanpa macet - karena yang ini jelas-jelas besar pengaruhnya terhadap umur pakai spare part dan konsumsi bahan bakar, dan tentu saja, harga bahan bakar.

Kelihatannya saya pesimis sekali, namun logistik itu masalah kompleks karena pemutar roda ekonomi yang tidak bisa diproses tanpa dukungan yang terintegrasi. Kesalahan kebijakan publik atas pra sarana logistik dijamin halal akan menguliti keberlangsungan biaya secara keseluruhan. Sebagai contoh, meski tiap tahun kita sibuk dengan perbaikan jalur pantura di Jawa Barat tapi juga tidak membangun jalur yang sama baiknya sebagai penghubung antara sumber industri dan jasa dengan customernya, tidak akan terbangun secara terintegrasi dan tidak akan serta merta menurunkan biaya logistik. Dalam sejarah, pembangunan jalur Daendels memang meningkatkan kontribusi besar secara ekonomi, namun membunuh perlahan pelabuhan Cilacap, Tegal, Cirebon, dan harga komoditas dari daerah selatan Jawa Tengah yang melalui pelabuhan naik 30%. Apa kita nggak bosan melihat transporter Jakarta ke kota-kota di Sumatera, satu kota harus satu perusahaan ekspedisi akibat biaya tambahan jika multiple destination? Bagaimana perusahaan transporter akan maju jika mereka hanya melayani Jakarta - Medan saja? Bandingkan dengan jalur Jakarta - Surabaya, kita masih bisa menggunakan satu truk dari Jakarta dan menurunkan barang di beberapa tempat. Itupun, efisiensi transporter masih belum sepenuhnya baik, karena setelah Semarang, mungkin truk 4 ton tinggal mengangkut 1 ton ke Surabaya!!!! Jika tingkat fulfilment transporter di atas (estimasi kasar saya) 70% di setiap titik destinasi, maka saya yakin biaya transportasi akan turun bisa mencapai 20%. Ini menunjukkan bahwa kebijakan bukan hanya urusan bahan bakar, jalan, perizinan, tetapi lebih strategis seperti program-program jangka panjang, lay out antar daerah, keseimbangan kebijakan pusat dan daerah, dan lain-lain. Dalam kacamata besar, blue print seperti GBHN saya pikir masih diperlukan, asal terstruktur baik.

Saya sangat berharap pemerintah serius membuat kebijakan strategis yang terintegrasi sehingga saya bisa menikmati mangga di Jakarta dengan di daerah tidak besar gapnya dan bukan kebijakan PU membuat jalan besoknya PLN gali lubang pasang kabel listrik dan besoknya lagi Telkom pasang kabel optik, lalu hari minggu enak2-nya tidur, kita ngomel2 karena air mati, listrik mati, telp mati karena PDAM menggali lagi buat pasang pipa baru!!! :D

Hanya dua 'kethip'...
Salam dan mohon maaf kalau tidak berkenan.....

Adi N

Thursday 15 September 2011

Reformasi Pelabuhan di Indonesia

Berikut ini tulisan dari milis Logic-ID yang sangat menarik dan bermanfaat. Visi pelayanan pelabuhan yang lebih baik lagi.
Reformasi Kepelabuhanan Mudah-mudahan sistem yang diterapkan di 11 pelabuhan Indonesia bagian barat ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi Performance Indicator yang sedang kita bahas bersama. Sistem pelayanan kapal, barang dan petikemas menggunakan teknologi berbasis web yang dapat diakses menggunakan jaringan Internet memiliki parameter ukuran dalam lingkup Port-To-Port, yakni: 1. Jika kapal beserta muatannya ingin dilayani maka coba taati 1 x 24 jam sebelum kapal sandar anda sudah mengajukan PKK (Pemberitahuan Kedatangan Kapal) ke pelabuhan tujuan. 2. Pastikan anda sebagai Perusahaan Agen Pelayaran beserta PBM (Perusahaan Bongkar Muat) telah mengadakan Rapat Kapal minimal 24 jam sebelum kapal sandar dan pastikan anda telah berkoordinasi dengan pihak pelabuhan agar Operator Pelabuhan setempat tidak mengambil kendala kekurangan informasi dalam membuat RPK/ OP (Rencana Penambatan Kapal dan Operation Planning) Khusus Pelayanan Petikemas: 1. Pastikan anda telah menyusun profile muatan kapal anda berbasis UN/ EDIFAT yang dikenal dengan Baplie Data atau jika anda kurang familiar dengan Baplie Data maka anda dapat mengajukan profile muatan kapal anda menggunakan format excel yang nantinya secara sistem menjadi data untuk mengolah kegiatan bongkar sebelum kapal sandar.  2. Pengajuan butir 1. di atas minimal 24 jam sebelum kapal sandar. 3. Untuk kegiatan muat maka pastikan anda telah melakukan Booking Stack minimal 4 (empat) hari sebelum kapal sandar sehingga petikemas dapat ditempatkan di lahan petikemas berdasarkan berat container, size-nya serta pelabuhan tujuannya. 4. Unit Kerja Perencanaan dan Pelaksanaan Bongkar Muat di Pelabuhan setempat akan bekerja secara elektronik mengolah data bongkar muat anda sehingga dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal keberangkatan kapal. 5. Sistem juga sudah terhubung dengan Instansi Bea Cukai khususnya yang berkenaan dengan validasi Nomor SPPB serta Nomor NPE dengan standard waktu pelayanan hitungan detik saja. 6. Jika tidak karena cuaca atau teknis peralatan bongkar/ muat serta hal-hal yang berhubungan dengan status HS Code kepabeanan terhadap PIB, BC 2.3 dan PEB maka sistem dapat berjalan sebagaimana yang diuraikan dan RPK/ OP di atas. Mengenai durasi waktu: Customer care Pelabuhan setempat dapat memberikan informasi yang tepat mengenai permasalahan yang ada sehingga apa anda sudah anggarkan dalam waktu dan biaya dapat diprediksi di depan sehingga anda dapat memberikan informasi kepada langganan jasa anda secara akurat dan dapat menciptakan loyalitas terhadap jasa-jasa pelayanan yang telah anda bangun selama ini dengan mereka. Menurut saya lamanya Bongkar/ Muat khusus untuk petikemas itu maksimal 5 hari untuk jumlah box bongkar dan muat sebanyak 500 container. Tahun depan akan ada aplikasi bagi dunia usaha logistik yang dapat bekerja secara machine-to-machine antara Shipment Booking dari Shipper dan Consignee sehingga tidak ada lagi re-entry yang dapat menyebabkan human error. Itu saja share dari saya dan bagi mereka yang ingin melihat demo bagaimana aplikasi yang telah terpasang di 11 pelabuhan ini bekerja dapat menghubungi saya. Saya akan melayani anda dalam sajian SCM beserta Performance Indicator-nya. Rudy Sangian

Delivery Issue Time

Delivery Issue Time - Masalah masalah yang timbul dalam proses pengiriman


berikut hasil diskusi dr milis ALI
Beberapa faktor delivery time:
1. Traffic Jam. Sedapat mungkin hindari waktu dan tempat yang sering terjadi
kemacetan
2. Proses konsolidasi kendaraan pengangkut barang lama sehingga barang tidak
langsung sampai ke tujuan. Ini bisa diatasi dengan sistem charter atau negosiasi
awal pada jasa ekpedisi untuk memastikan barang bisa langsung jalan atau tidak.
3. Faktor alam (jalan rusak, gelombang laut tinggi). Atur strategi lain.
4. Human error (missroute, sopir nakal). Gunakan GPS, terapkan system rewards
and punishment
Lepas dari semua di atas, jika kita menggunakan jasa ekpeditur buatlah kontrak
kerja sama yang mengatur delivery time.

Terima kasih
Harsono

Nambahi mas indra,
Perihal delivery issue time sedikit tambahan utk how to nya,
Jika unit sdh dilengkapi gps, tinggal under instruction pic yg kontrol gps ( toleransi durasi berhentinya unit )

Jika manual tanpa gps,
Drivernya aja diberikan prosedur sms dilokasi muat, keluar gudang muat, tiba dilokasi bongkar) artinya kita tinggal calculate standart delevery time yg ditetapkan dan waste time nya.

dan mulai dibiasakan ada dokumentasi case closed di management ( teguran tertulis) terkait unperformance driver atau vendor. Dengan begitu minimal mulai menanamkan habit sense of belonging for resolution time.

Salam,

Vanny

Tuesday 2 August 2011

Jenis Truck

Tipe-tipe truk yang sering lalu lalang di jalanan.
Sumber : email pak Gani

Truck 4X2 : artinya hanya 2 sumbu roda , depan dan belakang .
Truck 6X2 : artinya ada 3 sumbu roda, sumbu depan 1 buah dan sumbu belakang 2 buah terdiri
                  dari 1 buah Drive axle / gardan dan 1 buah lazy axle / as roda banci !
Truck 6X4 :  artinya ada 3 sumbu roda, sumbu depan 1 buah dan belakang 2 buah terdiri dari 2 buah
                  drive axles / gardan .
Truck 8X2 : artinya ada 4 sumbu roda , sumbu depan 2 buah steering dan sumbu belakang 2 buah ,
                     terdiri dari 1 buah drive axles / gardan dan 1 buah lazy axle / asb roda banci .
Truck 8X4, artinya ada 4 sumbu roda, sumbu depan 2 buah steering dan sumbu belakang 2 buah
                  terdiri dari 2 buah drive axles / gardan .
Truck 10X4,srtinya ada 5 sumbu roda, sumbu depan 2 buah steering dan sumbu belakang 3 buah
                   terdiri dari 2 buah drive axles / gardan dan 1 buah paling belakang steering lazy axle
                   lifting axle dan harus pakai airbag suspension .

untuk hitungan JBI tergantung dari kelas jalan ;
1. kls 1 - 10 ton utk axle/sumbu roda yang ban double
2. kls II - 8 ton utk axle/sumbu roda yang ban double.
3. kls III - 8 ton utk axle/sumbu roda yang ban double atau sekarang ada yang Ban tunggal.

Saturday 30 July 2011

Mengurai Akar Masalah Kemacetan Jakarta

Jakarta Macet!!
 begitu berita yang sering saya dengar,lihat dan baca.
Berhubung saya bukan warga Jakarta dan dari tayangan TV, berita di Internet,koran dll sudah cukup bagi saya untuk menyimpulkan betapa ruwetnya Kota Jakarta.



Berikut beberapa tulisan dari milis Logic-Id yang saya ikuti, pendapat para praktisi sekaligus pelaku kemacetan Jakarta itu sendiri.

Kita mengenal istilah PROBLEM, SYMPTOMS, CAUSE, dan SOLUTION. Problem adalah yang menjadi perhatian kita saat ini, Symptoms (gejala) adalah hasil/konsekuensi dari terjadinya problem, sementara cause adalah penyebab problem, sedangkan Solution adalah tindakan yang diambil untuk menghilangkan cause. Contoh: problem : Flu. Symptoms: pilek, pusing, demam. Cause: virus. Solution: Istirahat. Jadi, Kembali ke laptop, kemacetan itu problem, symptoms, atau cause?

Mari berbicara dengan data dan fakta:

Data 1:

Setiap tahunnya, kendaraan bermotor di Jakarta tumbuh 8,1% sedangkan jalan tumbuh 0,01%. jika di detailkan lagi, kendaraan bermotor bertambah 1,172 buah (186 mobil dan 986 motor) setiap hari di Jakarta. Jika ditarik garis trend ditemukan bahwa jumlah luas kendaraan = dengan luas jalan di tahun 2014.

Data 2:

Penduduk Jakarta di siang hari bertambah setidaknya 5 juta jiwa dibandingkan malam hari. Pertambahan penduduk ini disumbang oleh Tangerang (2 jt), Bekasi (1,4 jt) dan Bogor & Depok (1,6 jt)

Data 3:

Kebutuhan perjalanan dari, ke, dalam Jakarta sebesar 17,2 Juta perjalanan tiap hari

Data 4:

98,5% kendaraan bermotor di Jakarta adalah kendaraan pribadi, sisanya adalah angkutan umum. Kendaraan pribadi melayani 44% perjalanan sedangkan angkutan umum “harus” melayani 55% sisanya.

Data 5:

konsekuensi dari data 4, rata-rata penumpang kendaraan pribadi adalah 1,4 sementara kita bisa lihat bagaimana orang “bertaruh nyawa” berjejalan di TransJakarta, kopaja, dan KRL. Artinya, begitu banyak kursi kosong yang memenuhi jalan ibukota ini.


Dari data di atas disimpulkan bahwa kemacetan sendiri bukanlah masalah, namun gejala atau konsekuensi/ hasil yang timbul karena masalah, yaitu: ketergantungan penduduk Jakarta terhadap kendaraan pribadi.

Jika masalahnya adalah ketergantungan penduduk Jakarta (dan sekitarnya) terhadap kendaraan pribadi, maka: pembatasan truk tanpa rencana dan studi kelayakan yang tepat, menambah dan menumpuk sampai tiga lapis jalan, 3 in 1, pembatasan plat nomor (ganjil-genap), dll adalah solusi yang diambil pemda DKI untuk mengobati SYMPTOMS bukan CAUSE. Solusi itu memindahkan masalah atau bahkan menciptakan masalah baru. Don’t invite the devil! (ojok ngundang setan)

Jika kita sepakat Problemnya adalah ketergantungan, maka untuk mencari cause adalah bertanya “kenapa?” , kenapa sih kita tergantung pada kendaraan pribadi? “value” apa yang tidak kita dapatkan jika tidak menggunakan kendaraan pribadi? Setelah pertanyaan itu terjawab baru kita mencari “how” untuk mencari subtitusi value dari kendaran pribadi.

Saya rasa sampai sini kita serahkan kepada ahlinya yang layak dicoblos kumisnya itu J. Secara pribadi saya pernah melihat presentasi beliau, dan memang beliau adalah orang yang “berisi”. Gelar Doktor planologinya itu jelas bukan abal-abal! Hanya butuh skala prioritas dan sedikit keberanian untuk memulainya. Pemerintah punya priviledge yang tidak dipunyai oleh swasta yaitu membuat himbauan peraturan dan memungut pajak.

Biarlah itu jadi PR pemerintah, toh untuk itu mereka kita bayar melalui pajak khan?

Saya lebih tertarik pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah di atas?

Sebelumnya mari kita definisikan kata “bekerja”, menurut saya bekerja adalah aktivitas yang kita lakukan untuk mengubah input menjadi output yang diinginkan pelanggan. Output yang sesuai keinginan pelanggan itulah yang disebut kualitas. Jadi yang menentukan kualitas itu lama bekerja atau cara bekerja?

Bergerak belum tentu bekerja begitu juga kegiatan kita menuju tempat untuk bekerja. Jadi pertanyaannya apakah kualitas ditentukan oleh kehadiran kita? Atau di era yang serba canggih ini apakah 100% karyawan harus hadir untuk mendapatkan output yang berkualitas?
Sampai sini saya berpikir bahwa ketergantungan akan kendaraan pribadi itu sendiri masih berupa Symptoms, bukan masalah yang sesungguhnya...

Mari berdiskusi

Salam,
Yudha satya
(YM/t : @satya_yudha)

Pendapat lainnya :

Ini poin menarik, coba kita renungkan, bukankah semua ini kemauan rakyat juga? Saya bukan orang pemerintah lho, saya bosnya pemerintah (sebagai rakyat).

  • Bukankah rakyat sendiri yang menginginkan sejumlah besar anggaran untuk pendidikan? Artinya ya yg lain tertinggal termasuk infrastruktur.
  • Lalu pada saat pemda mau memajaki seluruh restoran, rakyat juga menolak? Warung sate kambing omzet ratusan juta ga perlu bayar pajak? Biarin aja orang parkir penuhin jalan umum?
  • Orang membuat minimarket yg didukung infrastruktur logistik juga ditolak? Lebih baik minimarket informal ga bayar pajak yg terima barang dari 20 supplier (=20 truk) dibanding 1 DC (=1 truk) setiap hari?
  • Rakyat juga memilih membeli mainan di pasar gembrong ga bayar pajak yg membuat jalanan macet drpd di hypermarket yg bayar pajak dan menyediakan tempat parkir?
  • Sebagai pemain di dunia FMCG, kita anti retailer DC supaya bisa memaksakan (dgn imbalan) loading stock ke toko demi mencapai target penjualan sort term? Padahal dengan penggunaan armada truk2 kecil di hari kerja akan menciptakan kemacetan? (Catatan: Saya mendukung DC retailer krn lebih green dan mengurangi kemacetan)
Coba kita renungkan dan atur perbuatan kita sehari2:
  • Belanja di sektor formal yang bayar pajak, menggunakan infrastruktur logistik yg efisien
  • Makan di restoran dgn tempat parkir yg tidak menyita jalan dan membayar pajak
  • Aktif untuk push pemerintah + DPR agar prioritaskan infrastruktur
  • Lakukan keputusan bisnis yg menghindari kemacetan dan mengurangi emisi CO2
  • Jangan konsumsi media yg provokasinya sok membela sektor informal. Harusnya semuanya formal, biarpun kecil (seperti karyawan pabrik yg begitu diatas PTKP lgs dipotong pajak)
Dan... Jangan lupa gunakan suara kita untuk memilih partai yang benar, yg serius ga Cuma ngurusin pornografi karena memang  pecandu pornografi. Juga presiden yg kita yakin akan bangun infrastruktur.

Bayu Soedjarwo

pendapat lainnya lagi :

Pak Bayu dan rekan milist ysh.
Menalar dari apa yang bapak tulis, saya hanya ingin berpendapat bahwa;
1. Amboradulnya tatanan masyarakat lebih disebabkan oleh degradasi mentalitas bangsa ini termasuk saya sendiri. Itulah pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa.
Kita pencetus ide ini yang effektif menerapkan adalah negara tetangga. Contoh Singapura, sebelum mereka bicara hukum, sosial, ekonomin dan budaya apa yang mereka lakukan? Tidak lain adalah mencerdaskan rakyatnya!
Setiap tahun anggaran pendidikan menempati prioritas utama anggaran sampai incentif pajak diberikan kepada dunia usaha berbasis kepada pendidikan. Tidak sedikit anggaran pendidikan yang mereka keluarkan tiap tahinnya sebagai bagian dari sustainable development pendidikan rakyat mereka.

 Jika rakyat mengerti atau cerdas (bukan pintar/ tricky) maka semua tatanan masyarakat akan mudah diatur dan teratur. Celakanya lagi bangsa kita pada umumnya banyak yang pintar tapi tidak mengerti!
Contoh sederhana konsep2 kita yg briliant ttg berbangsa dan bernegara siapa yang efektif menerapkan tidak lain adalah jiran2 kita, pertnyaannya kitanya bgm?

Balik ke mentalitas tadi contoh malas (mikir,kerja/usaha), mau cepat kaya tanpa keluar keringat, korupsi jadi solusi, melacurkan, kehormatan, idealisme, dan harga diri sbg bangsa Indonesia dlsb.
Hal ini yang menjadi biang keladi kerusakan di bumi pertiwi ini. Itulah yang ingin diperbaiki untuk generasi yang akan datang. Semoga generasi kedapan tidak menjadi generasi yang pintar tapi lebih dari itu menjadi generasi yang mengerti dan cerdas.

Agung


--
Best regards,
Taro

Monday 18 July 2011

Makro vs Mikro Logistik

Hasil diskusi milis ALI tentang Makro vs Mikro Logistik
semoga bermanfaat

Makro vs Mikro Logistik
Dear rekan-rekan ALI,
Diskusi ini sangat menarik karena kita sebagai pelaku mengetahui kondisi langsung masalah di lapangan dan punya solusi ideal. Bisa dipastikan implementasi solusi ini pasti tidak gampang, kalau gampang logistik kita dari 20 tahun lalu sudah menjadi terbaik di Asia.

Kita harus bisa membedakan antara Konsep Logistik (Makro) dan Eksekusi Logistik (Mikro), sering kali kita terjebak disini. Melakukan analisa makro tetapi memakai kaca mata mikro. Kalau kita mendesign konsep logistik Makro dengan kaca mata Mikro akhirnya bisa seperti yg sering dikatakan oleh teman saya Mahendra: Perfecting the Wrong Thing.

Konsep Blueprint atau Sislognas adalah design sistem logistik Indonesia secara Makro yang mempunyai visi locally integrated & globally connected, dan objectivenya adalah menurunkan biaya logistik & meningkatkan service level. Sehingga design dari sislognas harus mendukng tercapainya objective seperti Moda transportasi yg menjadi prioritas (jalan,laut atau udara), dimana lokasi hub internasional, dimana saja alur ferry dan kapal laut utk menghubungkan pulau kita, lokasi logistics center, dll. Juga membahas apa saja yg perlu dibuat untuk mendukung SDM Indonesia di bid logistik, sistem IT yg seperti apa, regulasi yg harmonis antara daerah dan pusat dan antar dept, dan peranan jasa logistik.

Kalau kita membuat Sislognas dengan mempertimbangkan semua hambatan yg terjadi di lapangan (mikro), maka tdk pernah akan jadi Sislognas kita ini. Hambatan dilapangan harus dihilangkan bukan dipertimbangkan. Yang harus dipertimbangkan dalam sislognas adalah kondisi alam dan jalur perdagangan.

Setelah makro designnya jadi baru kita turunkan menjadi aturan, guidance,enforcement, agar menjadi applicable di lapangan. Proses ini tdk mudah tapi perlu support dari kita semua dan sikap optimis bahwa design yg dibuat akan membuat sistem logistik kita lebih baik.

Sebenarnya proses diatas sdh kita lakukan di tempat kerja kita masing2,dimana waktu kita mendesign sistem logistik di perusahaan, kita memakai business strategy sebagai panduan dan akhirnya diturunkan menjadi program kerja di bidang logistik. Jadi kalau perusahaan kita ingin menambah market share 5%, dept logistik harus siap2 untuk nambah gudang baru, truk dll.

Proses ini berjalan bertahap sampai ke program kerja masing2 orang, hambatan di lapangan seperti pungli, skill SDM yg kurang dll, tdk akan mempengaruhi target perusahaan utk menambah market share 5%, dept logistik yg harus mengatasi masalah tsb.

Teman-teman yang kemarin baru selesai training SCOR, pasti mengetahui benar bagaimana menurunkan business strategy perusahaan, menjadi strategy logistik dan bagaimana cara eksekusinya. Kalau di SCOR dari level 1 sampai level 3 (yg bisa menjadi SOP), merubah dari "AS IS" menjadi "TO BE"

Komentar dari Pak Wahyu bahwa konsep subsidi tdk berjalan karena bisa menimbulkan lahan korupsi yg baru, cara pandang seperti ini melihat masalah makro dgn kacamata mikro. Subsidi perlu dilakukan di infrastruktur logistik karena infrastruktur adalah sunk cost dan menjadi tugas pemerintah untuk melakukan investasi sebagai pelayanan ke masyarakat. Makin bagus dan efisien
infrasturktur logistiknya makin besar multiplier effectnya kepada ekonomi

dan pada akhirnya pemerintah mendapat pemasukan dari tempat lain seperti pajak. Bila swasta ingin masuk ke infrastruktur maka swasta pasti mengharapkan kompensasi utk menutup sunk cost mereka seperti tariff toll yg naik tiap tahun, monopoli atau lahan ribuan hektar (utk JSS - menurut kabar angin :)

Logistik adalah enabler dari ekonomi makanya harus dibuat se-efisien mungkin, kasus dari RA membuat Logistik bukan menjadi enabler tapi blocker thd ekonomi. Kalau jaringan distribusi kita sudah lancar maka perbedaan harga produk antar pulau atau daerah akan tipis sehingg ekonomi di masing2 daerah akan berkembang. Sistem Logistik Nasional juga harus berpihak untuk mendukung daya saing produk local, cara nya bagaimana saya juga kurang tahu. Mungkin Pak Angga dari ITB lebih ahli dalam masalah ini.

Masukan dari rekan-rekan sangat bagus dan kita harapkan rekan-rekan ALI bisa hadir pada Seminar Logistik Nasional pada tanggal 20 Juli di Bandung (@Pak Andi bukan seminar Financial SCM) dimana konsep Makro Logistik Indonesia akan dibahas, kalau kita bisa urun rembuk memberikan ide pada seminar ini sangatlah bagus, sekalian kita bisa kenalan siapa tau bisa dapat bisnis (ini

yg Mikronya :). Rencananya juga tanggal 26 Juli di Makassar dgn topic yg

sama plus mengenai Logistik di Indonesia Timur.

Sebagai informasi tanggal 5 Juli kemarin, ALI bersama Kantor Menko mengadakan training introduction to Logistik kepada 60 pegawai negeri dari berbagai department dan instansi yang berkaitan dgn Logistik. Hal ini sangat menggembirakan karena kita bisa menularkan virus bahwa Logistik adalah enabler dari perekenomian sehingga harus efisien dan efektif kepada teman-teman kita di birokrasi.

Thanks

Zaldy

Pendapat member :
Boss Zaldy,Akur sama penjelasannya bahwa pemerintah harus menyediakan infrastruktur logistik..., tapi itu tampaknya lebih tepat disebut sebagai investasi, bukan subsidi. Kalau subsidi berarti bantuan atas biaya operasional, dan karenanya bisa disalahgunakan.Kalau infrastruktur tersebut hanya boleh dioperasikan oleh badan yang ditunjuk, tidak based on competition, maka hasilnya seperti pt KA atau Ferry yang sampai sekarang tidak berkembang..oya, KA dan Ferry disubsidi.
.Begitu boss...


Pak Zaldy, Sebenarnya klo service-nya juga sepadan dg cost yg ditetapkan para pelaku masih bisa menerima (walaupun dg berat hati). Tetapi bila pada kenyataannya malah kebalikannya dan bahkan menimbulkan extra cost lainnya kan malah sangat-sangat kontra produktif bagi pengembangan dunia logistik yg semakin besar peranannya dan menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi secara makro di segala aspek kehidupan di Republik ini.
Sangat disayangkan bila suatu kebijakan ditelorkan dan seolah-olah tanpa melalui pematangan konsep dan tahapan yg sistematis yg terencana dan terukur. Yang pada pelaksanaannya malah menambah carut marutnya penanganan rangkaian rantai suply itu sendiri.Mudah-mudahan ke depan pemerintah bisa lebih cerdas dan cermat dalam menelorkan kebijakan-kebijakan strategis terkait dg pengaturan bagian per bagian dari rangkaian aktifitas Logistik/Supply Chain baik regional, nasional maupun kawasan demi kebaikan dan keunggulan bangsa ini juga.

Salam,
Baskoro


Pak Zaldy Yth. dan Temans semua,
Pemerintah seharusnya melakukan studi banding bagaimana negara tetanggakita mengelola & mengembangkan infrastuktur logistik untuk meningkatkan daya saing & memicu pertumbuhan ekonomi mereka, (tapi birokrat yg berangkat ke sana harus yg benar2 paham ttg Logistik bukan sekedar mau jalan2 & belanja), bisa ke Singapura & Malaysia.
Jika paradigmanya Logistik sbg profit center lalu operator yg diberi tugas gradenya (-+???). Dapat ipastikan daya saing Indonesia semakin merosot, karena logistics handling cost akan semakin mahal dari hulu ke hilir, mulai dari yg resmi sampai premanisme di bidang logistik. Ujung2nya bisa ditebak: harga produk buatan Indonesia semakin mahal dan tidak kompetitif baik di pasar domestik maupun di pasar internasional.Sekarang saja sudah terasa kok, lihat produk2 import pertanian yang masuk ke Indonesia, kualitasnya lebih baik tapi harganya lebih murah, sedangkan produk lokal pertanian Indonesia, sudah gradenya lebih rendah harga2nya lebih mahal, selain rendahnya inovasi, proses farming, serta pengawasan mutu, juga akibat proses operasional logistik di bidang pertanian yg carut-marut. Beberapa produsen Indonesia yang pening dan frustasi dengan situasi ini sudah melakukan tool manufacturing di negara lain untuk membuat produk lokal yg dijual di Indonesia, sebuah ironi kan?, di saat investor asing di undang masuk, sebagian investor domestik malah pindah ke negara lain. Apakah mereka yang ada di Parlemen, Birokrasi, & Penegak Hukum, pernah berpikir tentang hal ini, atau memang ada yang memiliki masalah kronis di bidang kompetensi, integritas, kepemimpinan, & visi kebangsaan, sehingga membenahi infrastuktur dan birokrasi di bidang logistik saja tidak selesai-selesai.Memulai aktivitas dengan opini yg pening, krn jalanan sebentar lagi macet... :) ,
semoga berkenan...
Salam,
Deni Danasenjaya