Saturday 30 July 2011

Mengurai Akar Masalah Kemacetan Jakarta

Jakarta Macet!!
 begitu berita yang sering saya dengar,lihat dan baca.
Berhubung saya bukan warga Jakarta dan dari tayangan TV, berita di Internet,koran dll sudah cukup bagi saya untuk menyimpulkan betapa ruwetnya Kota Jakarta.



Berikut beberapa tulisan dari milis Logic-Id yang saya ikuti, pendapat para praktisi sekaligus pelaku kemacetan Jakarta itu sendiri.

Kita mengenal istilah PROBLEM, SYMPTOMS, CAUSE, dan SOLUTION. Problem adalah yang menjadi perhatian kita saat ini, Symptoms (gejala) adalah hasil/konsekuensi dari terjadinya problem, sementara cause adalah penyebab problem, sedangkan Solution adalah tindakan yang diambil untuk menghilangkan cause. Contoh: problem : Flu. Symptoms: pilek, pusing, demam. Cause: virus. Solution: Istirahat. Jadi, Kembali ke laptop, kemacetan itu problem, symptoms, atau cause?

Mari berbicara dengan data dan fakta:

Data 1:

Setiap tahunnya, kendaraan bermotor di Jakarta tumbuh 8,1% sedangkan jalan tumbuh 0,01%. jika di detailkan lagi, kendaraan bermotor bertambah 1,172 buah (186 mobil dan 986 motor) setiap hari di Jakarta. Jika ditarik garis trend ditemukan bahwa jumlah luas kendaraan = dengan luas jalan di tahun 2014.

Data 2:

Penduduk Jakarta di siang hari bertambah setidaknya 5 juta jiwa dibandingkan malam hari. Pertambahan penduduk ini disumbang oleh Tangerang (2 jt), Bekasi (1,4 jt) dan Bogor & Depok (1,6 jt)

Data 3:

Kebutuhan perjalanan dari, ke, dalam Jakarta sebesar 17,2 Juta perjalanan tiap hari

Data 4:

98,5% kendaraan bermotor di Jakarta adalah kendaraan pribadi, sisanya adalah angkutan umum. Kendaraan pribadi melayani 44% perjalanan sedangkan angkutan umum “harus” melayani 55% sisanya.

Data 5:

konsekuensi dari data 4, rata-rata penumpang kendaraan pribadi adalah 1,4 sementara kita bisa lihat bagaimana orang “bertaruh nyawa” berjejalan di TransJakarta, kopaja, dan KRL. Artinya, begitu banyak kursi kosong yang memenuhi jalan ibukota ini.


Dari data di atas disimpulkan bahwa kemacetan sendiri bukanlah masalah, namun gejala atau konsekuensi/ hasil yang timbul karena masalah, yaitu: ketergantungan penduduk Jakarta terhadap kendaraan pribadi.

Jika masalahnya adalah ketergantungan penduduk Jakarta (dan sekitarnya) terhadap kendaraan pribadi, maka: pembatasan truk tanpa rencana dan studi kelayakan yang tepat, menambah dan menumpuk sampai tiga lapis jalan, 3 in 1, pembatasan plat nomor (ganjil-genap), dll adalah solusi yang diambil pemda DKI untuk mengobati SYMPTOMS bukan CAUSE. Solusi itu memindahkan masalah atau bahkan menciptakan masalah baru. Don’t invite the devil! (ojok ngundang setan)

Jika kita sepakat Problemnya adalah ketergantungan, maka untuk mencari cause adalah bertanya “kenapa?” , kenapa sih kita tergantung pada kendaraan pribadi? “value” apa yang tidak kita dapatkan jika tidak menggunakan kendaraan pribadi? Setelah pertanyaan itu terjawab baru kita mencari “how” untuk mencari subtitusi value dari kendaran pribadi.

Saya rasa sampai sini kita serahkan kepada ahlinya yang layak dicoblos kumisnya itu J. Secara pribadi saya pernah melihat presentasi beliau, dan memang beliau adalah orang yang “berisi”. Gelar Doktor planologinya itu jelas bukan abal-abal! Hanya butuh skala prioritas dan sedikit keberanian untuk memulainya. Pemerintah punya priviledge yang tidak dipunyai oleh swasta yaitu membuat himbauan peraturan dan memungut pajak.

Biarlah itu jadi PR pemerintah, toh untuk itu mereka kita bayar melalui pajak khan?

Saya lebih tertarik pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah di atas?

Sebelumnya mari kita definisikan kata “bekerja”, menurut saya bekerja adalah aktivitas yang kita lakukan untuk mengubah input menjadi output yang diinginkan pelanggan. Output yang sesuai keinginan pelanggan itulah yang disebut kualitas. Jadi yang menentukan kualitas itu lama bekerja atau cara bekerja?

Bergerak belum tentu bekerja begitu juga kegiatan kita menuju tempat untuk bekerja. Jadi pertanyaannya apakah kualitas ditentukan oleh kehadiran kita? Atau di era yang serba canggih ini apakah 100% karyawan harus hadir untuk mendapatkan output yang berkualitas?
Sampai sini saya berpikir bahwa ketergantungan akan kendaraan pribadi itu sendiri masih berupa Symptoms, bukan masalah yang sesungguhnya...

Mari berdiskusi

Salam,
Yudha satya
(YM/t : @satya_yudha)

Pendapat lainnya :

Ini poin menarik, coba kita renungkan, bukankah semua ini kemauan rakyat juga? Saya bukan orang pemerintah lho, saya bosnya pemerintah (sebagai rakyat).

  • Bukankah rakyat sendiri yang menginginkan sejumlah besar anggaran untuk pendidikan? Artinya ya yg lain tertinggal termasuk infrastruktur.
  • Lalu pada saat pemda mau memajaki seluruh restoran, rakyat juga menolak? Warung sate kambing omzet ratusan juta ga perlu bayar pajak? Biarin aja orang parkir penuhin jalan umum?
  • Orang membuat minimarket yg didukung infrastruktur logistik juga ditolak? Lebih baik minimarket informal ga bayar pajak yg terima barang dari 20 supplier (=20 truk) dibanding 1 DC (=1 truk) setiap hari?
  • Rakyat juga memilih membeli mainan di pasar gembrong ga bayar pajak yg membuat jalanan macet drpd di hypermarket yg bayar pajak dan menyediakan tempat parkir?
  • Sebagai pemain di dunia FMCG, kita anti retailer DC supaya bisa memaksakan (dgn imbalan) loading stock ke toko demi mencapai target penjualan sort term? Padahal dengan penggunaan armada truk2 kecil di hari kerja akan menciptakan kemacetan? (Catatan: Saya mendukung DC retailer krn lebih green dan mengurangi kemacetan)
Coba kita renungkan dan atur perbuatan kita sehari2:
  • Belanja di sektor formal yang bayar pajak, menggunakan infrastruktur logistik yg efisien
  • Makan di restoran dgn tempat parkir yg tidak menyita jalan dan membayar pajak
  • Aktif untuk push pemerintah + DPR agar prioritaskan infrastruktur
  • Lakukan keputusan bisnis yg menghindari kemacetan dan mengurangi emisi CO2
  • Jangan konsumsi media yg provokasinya sok membela sektor informal. Harusnya semuanya formal, biarpun kecil (seperti karyawan pabrik yg begitu diatas PTKP lgs dipotong pajak)
Dan... Jangan lupa gunakan suara kita untuk memilih partai yang benar, yg serius ga Cuma ngurusin pornografi karena memang  pecandu pornografi. Juga presiden yg kita yakin akan bangun infrastruktur.

Bayu Soedjarwo

pendapat lainnya lagi :

Pak Bayu dan rekan milist ysh.
Menalar dari apa yang bapak tulis, saya hanya ingin berpendapat bahwa;
1. Amboradulnya tatanan masyarakat lebih disebabkan oleh degradasi mentalitas bangsa ini termasuk saya sendiri. Itulah pentingnya pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa.
Kita pencetus ide ini yang effektif menerapkan adalah negara tetangga. Contoh Singapura, sebelum mereka bicara hukum, sosial, ekonomin dan budaya apa yang mereka lakukan? Tidak lain adalah mencerdaskan rakyatnya!
Setiap tahun anggaran pendidikan menempati prioritas utama anggaran sampai incentif pajak diberikan kepada dunia usaha berbasis kepada pendidikan. Tidak sedikit anggaran pendidikan yang mereka keluarkan tiap tahinnya sebagai bagian dari sustainable development pendidikan rakyat mereka.

 Jika rakyat mengerti atau cerdas (bukan pintar/ tricky) maka semua tatanan masyarakat akan mudah diatur dan teratur. Celakanya lagi bangsa kita pada umumnya banyak yang pintar tapi tidak mengerti!
Contoh sederhana konsep2 kita yg briliant ttg berbangsa dan bernegara siapa yang efektif menerapkan tidak lain adalah jiran2 kita, pertnyaannya kitanya bgm?

Balik ke mentalitas tadi contoh malas (mikir,kerja/usaha), mau cepat kaya tanpa keluar keringat, korupsi jadi solusi, melacurkan, kehormatan, idealisme, dan harga diri sbg bangsa Indonesia dlsb.
Hal ini yang menjadi biang keladi kerusakan di bumi pertiwi ini. Itulah yang ingin diperbaiki untuk generasi yang akan datang. Semoga generasi kedapan tidak menjadi generasi yang pintar tapi lebih dari itu menjadi generasi yang mengerti dan cerdas.

Agung


--
Best regards,
Taro

No comments:

Post a Comment