Sunday 13 March 2011

FIFA-PSSI dan Masalahnya (2) Oleh Djoko Susilo


FIFA-PSSI dan Masalahnya (2) Oleh Djoko Susilo
Posted by idris on 11 March 2011 | 07.35 wib
sumber: Riau Pos


Sewaktu masih di SD, guru mengajarkan pepatah yang selalu saya ingat: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itu saya coba gunakan memahami hubungan FIFA-PSSI.

Saya yang sebelumnya tak tahu apa-apa coba menggali seksama masalah itu sampai akarnya. Ada kemiripan antara pengurus FIFA dan PSSI: Mereka lama berkuasa dan tak mau turun-turun.

Yang lebih penting, dalam urusan duit, FIFA ataupun PSSI dianggap tak transparan.

Di FIFA, nama wartawan Inggris Andrew Jennings masuk blacklist nomor 1. Alexander Koch, pejabat Bidang Humas FIFA, ketika saya tanya mengenai Jennings tak bisa menyembunyikan kejengkelan.

‘’Saya larang dia masuk di lingkungan FIFA. Sebab, sebagai wartawan, dia sangat tidak objektif,’’ kata Herr Koch gusar. Baginya, apa saja yang ditulis Jennings hanya isapan jempol dan bohong belaka. Memang pantas Jennings buat marah pengurus FIFA. Sebab, dia satu-satunya wartawan yang mampu mendokumentasikan berbagai masalah di FIFA.

Dosa besar Jennings ialah menulis buku Foul! The Secret World of FIFA: Bribes Vote Rigging and Ticket Scandals. Buku itu mengupas habis skandal keuangan dan berbagai persoalan yang membelit FIFA. Dalam ulasan tentang karya Jennings itu, koran terkenal di Inggris The Daily Mail menulis, Explosive.. An astonishing story of bribery and vote rigging. Sedang Presiden FIFA Sepp Blatter berkomentar ke Jennings, You write fiction.

Buku Jennings itu di kalangan wartawan serta peminat dan pengamat bola di Inggris sangat berpengaruh. Akibatnya, media di Inggris dicap anti-FIFA.

Pun, hasilnya sangat jelas: Inggris gagal jadi tuan rumah Piala Dunia 2018, kalah oleh Rusia meski Pangeran Williams ikut melobi. Banyak yang heran, kenapa Inggris. Juga banyak yang mempertanyakan, kenapa Qatar bisa jadi tuan rumah World Cup 2022.

Well, kami juga harus mempertimbangkan perkembangan bola di Eropa Timur. ‘’Tidak benar semua tuduhan koran Inggris mengenai adanya penyuapan atau permainan dalam penentuan,’’ kata Koch. Memang tuduhan atau kritik yang ditulis Jennings tak main-main.

Masalahnya, beda dengan tradisi CEO perusahaan atau lembaga penting di Eropa yang selalu mengumumkan gaji pimpinan dan dewan direksi, gaji dan penghasilan presiden FIFA dinyatakan rahasia.

Hanya boleh diketahui komite keuangan organisasi. Tapi, dari berbagai sumber, Jennings menuliskan gaji Blatter 4 juta franc Swiss (CHF) atau hampir Rp38 miliar. Dalam kontrak juga disebut jika Blatter di-PHK, FIFA harus memberi kompensasi CHF 24 juta atau hampir Rp226 miliar.

Di luar gaji itu, Blatter masih memiliki sejumlah fasilitas dan pengeluaran yang dibayar FIFA. Tumpangannya saja Mercy terbaik di Swiss. Biaya sewa apartemennya di Zilikon, dekat Zurich, CHF 8.000 per bulan.

Jika pergi ke luar wilayah Swiss untuk urusan apapun, dia dapat sangu sehari 500 dolar AS plus uang makan, uang belanja, dan lain-lain. Bahkan, Jennings bisa menyebutkan, jas dan belanjaan Blatter di Coop (semacam supermarket Hero di Swiss) juga dibayari FIFA.

Masih menurut Jennings, tiket pelesir pacar presiden FIFA yang sudah lebih dari 75 tahun itu juga dibayari FIFA. Blatter jadi presiden FIFA sejak 1998. Tapi, belasan tahun sebelumnya dia sudah jadi Sekjen FIFA.

Sama dengan pengurus PSSI yang tak pernah berganti-ganti. Bisa dikatakan, orangnya ya itu-itu saja. Sepertinya, tak ada orang Indonesia lain yang bisa mengurus PSSI. Nurdin Halid berkuasa sejak 2003.

Sedang Sekum PSSI Nugraha Besoes ada di posisinya sejak lama. Seingat saya, sejak saya masih bercelana pendek, dia sudah jadi pengurus teras PSSI.

Dalam catatan Jennings, Blatter juga sering menyalahi aturan di Swiss. Meski dia tinggal di Kanton Zurich sejak 1975, KTP-nya masih terdaftar di Kanton Valais. Di Swiss, ada perbedaan yang mencolok dari segi perpajakan. Pajak penghasilan di Valais lebih rendah daripada di Zurich.

Dengan ber-KTP Valais, pajak yang dibayar pun lebih sedikit. Lalu, masih menurut Jennings, Blatter pun memutuskan mendaftar urusan pajaknya di Kantor Appenzell, salah satu kanton terkecil di Swiss yang hanya berpenduduk 15.000 orang dengan pajak paling rendah. Dalam istilah lokal, status Blatter adalah wochenaufenthalter. Terjemahan gampangnya, penduduk Zurich yang hanya tinggal di kota itu selama hari kerja.

Suatu saat reporter tabloid Swiss, Blick, datang mengetuk pintu apartemen Blatter di Zurich. Dia menanyakan alamat rumah Blatter di Appenzell, sebagaimana tercatat dalam laporan pajaknya.

Ternyata, sampai tiga kali ditanya, presiden FIFA itu tak bisa menyampaikannya dengan benar sampai akhirnya reporter itulah yang memberi tahunya dengan tepat. Dengan kata lain, Blatter hanya pinjam alamat agar pajaknya lebih rendah.

Tentu saja laporan Blick itu mengagetkan banyak pihak. Kantor pajak Zurich akhirnya mengusut kebenaran laporan wartawan Blick. Sedang Blatter untuk mencari simpati memberi kesempatan wawancara khusus ke koran Walliser Bote, yakni koran lokal tempat kelahirannya di Kanton Valais. Intinya, isu pengusutan dinas pajak itu tak benar.

Dia juga membantah ia jadi sasaran pengusutan atas penyelewengan pembayaran pajak pendapatan. Bahkan, dia berusaha mencari simpati warga lokal.

Sebagai orang asli Valais yang berhasil masuk orbit internasional, wajar dia jadi sasaran tembak orang-orang di kota besar seperti Zurich.

Membaca bagian cerita itu, saya teringat sebagian usaha Nurdin mencari simpati lokal di Makassar dengan menyatakan berbagai macam kritik terhadapnya bermotif politik. Tak pernah diungkap proses yang terjadi selama ini di PSSI menyalahi aturan FIFA.

Juga, tak dijelaskan terjadi pelintiran terhadap statuta organisasi. Seolah-olah para pengurus PSSI sekarang menghadapi campur tangan pemerintah dan dizalimi. Anggapan dizalimi media dan pemerintah itu akan bisa jadi alat yang ampuh untuk membela diri. Penampilan memelas sampai menangis di depan Komisi X DPR juga merupakan drama yang sangat mencengangkan.(bersambung)

FIFA-PSSI dan Masalahnya (3-Habis) Oleh Djoko Susilo, Duta Besar RI di Swiss


FIFA-PSSI dan Masalahnya (3-Habis) Oleh Djoko Susilo, Duta Besar RI di Swiss
Posted by idris on 12 March 2011 | 07.30 wib
sumber : Riau Pos


NAMA resmi FIFA adalah Federation Internationale de Football Association atau dalam bahasa Inggris ialah International Federation of Association Football.

Jadi, sesungguhnya nama FIFA lebih terkenal dalam bahasa Prancis, persis ketika didirikan pada 1907 di Paris. Kepanjangan FIFA tak pernah berubah, baik dalam bahasa Prancis maupun Inggris.

Karena itu, beberapa bulan lalu ketika ada kabar lewat PSSI, FIFA menegur dan mengancam Indonesia karena dilaksanakannya LPI (Liga Primer Indonesia) segera saja publik heboh dengan informasi surat itu palsu.

Saya tak melihat surat itu. Tapi, dari berbagai berita, misalnya dari analisis grammar bahasa Inggris dan yang lebih fatal lagi kepanjangan FIFA adalah Federation International Football Association, itu menunjukkan pembuat surat keterlaluan ngawur-nya. Pertama, tak mengerti kepanjangan yang betul FIFA.

Kedua, bahasa Inggrisnya pas-pasan dan malah mungkin tak pernah ke kantor FIFA di Zurich, Swiss. Siapapun yang pernah ke kantor FIFA yang megah di kawasan Sonenberg, Zurich, rasanya tak mungkin menulis kepanjangan FIFA sampai salah.

Saya tak tahu jika pengurus PSSI yang wira-wiri ke sana sampai tak pernah memperhatikan kepanjangan FIFA yang benar itu. Rasanya, tak mungkin Sekjen FIFA Jerome Valcker yang asli Prancis dan Thierry Regennas, pejabat FIFA urusan asosiasi dan perkembangan yang asli Swiss, salah menulis kepanjangan FIFA.

Dilahirkan di Paris pada 1907, wajar jika suasana Prancis masih terasa kental di organisasi itu. Jika para petinggi FIFA dan para tamunya bersantap siang atau malam, mereka biasanya ke restoran FIFA Club Sonenberg di Hitzigweg 15, CH-8032 Zurich, yang salah satu menu andalannya adalah menu Prancis.

Bahasa Prancis masih dominan dan mereka kadang-kadang mengira tamunya, khususnya dari Indonesia, seperti saya, tak mengerti bahasa Prancis. Sikap sok Prancis para petinggi FIFA itulah yang saya alami ketika memperbincangkan nasib Nurdin Halid dengan Presiden FIFA Sepp Blatter.

Tiba-tiba ada oknum yang menginterupsi dalam bahasa Prancis. Dia baru agak mundur ketika sadar rombongan kami juga mengerti bahasa Prancis. Dari interupsinya itu, saya mengerti Blatter diminta tak banyak berbicara soal Nurdin.

Situasi itu sangat merisaukan saya. Itu berarti lobi penguasa PSSI sangat intensif di lingkungan FIFA, sementara para pengkritik pengurus PSSI sama sekali tak punya akses ke FIFA.

Pantas, selama ini kalau mereka ke kantor FIFA di Zurich sekalipun tak pernah kontak ke KBRI. Tampaknya, ada sesuatu yang dijaga secara khusus oleh pihak PSSI sehingga jalur komunikasi dengan pejabat FIFA itu hanya eksklusif untuk mereka.

Bukan hanya itu, mereka juga ingin memonopoli tafsir informasi yang keluar dari FIFA.

Dengan kata lain, kalau ada instruksi atau informasi FIFA yang menguntungkan mereka, itu akan digunakan dan disebarkan seluas-luasnya. Tapi jika tak mengenakkan, mereka akan membungkus dan menyimpan serapat-rapatnya.

Salah satu yang paling nyata adalah soal surat FIFA pada Juni 2007, yang di website resmi FIFA saja hingga sekarang bisa dibaca. Di sana disebutkan, FIFA sudah mengirim surat ke PSSI agar mengadakan kongres ulang dan memperbaiki statuta PSSI.

Meski sudah jelas-jelas ada dan juga diakui para petinggi FIFA, ketika saya berkunjung ke sana, para pengurus PSSI mati-matian membantah.

Hanya, kemudian mereka mengakui ada perintah KLB (kongres luar biasa) di Ancol pada 2009 yang melanggengkan kekuasaan Nurdin dan mempertahankan status quo.

Dari cerita sejumlah teman yang sampai ke saya, ternyata KLB di Ancol saat itu penuh rekayasa. Salah satu di antaranya, pejabat FIFA yang ditugaskan jadi pengawas ibaratnya memberi cek kosong ke pengurus PSSI.

Teman-teman wartawan yang coba mewawancarai perwakilan FIFA dihalang-halangi dan pejabat FIFA itu sendiri menolak bicara. Dia seperti sudah dikondisikan membenarkan apa saja yang diputuskan PSSI.

Dalam konteks ini, kongres PSSI yang akan diadakan April nanti jadi tak berarti dan bisa kisruh manakala pengawas dari FIFA dan AFC bukan pejabat netral. Kekhawatiran itu bukan tak mengada-ada karena masih ada usaha-usaha mengegolkan Nurdin dengan berbagai cara.

Hingga kini, pengurus PSSI masih bersikukuh kongres akan dilaksanakan sesuai aturan main PSSI yang katanya sudah disetujui FIFA. Masalahnya, selama ini FIFA sangat sensitif dengan apa saja koreksi yang dilakukan pemerintah.

Jika seorang menteri atau saya selaku Dubes mengingatkan FIFA terjadi KKN di lingkungan PSSI, mereka akan memperingatkan kita bertahan. ‘’Di lingkungan sepakbola yang di bawah naungan FIFA, haram campur tangan pemerintah,’’ kata Alexander Koch, pejabat Humas FIFA, ketika saya bertandang ke markasnya.

Sekalipun kini PSSI masih memakai nama ‘’I (Indonesia)’’ dan menerima dana negara melalui APBN dan di klub-klub di daerah masih menerima anggaran lewat APBD, sikap FIFA keras terhadap apa yang dianggapnya campur tangan pemerintah.

Jadi, jika Menpora Andi Mallarangeng mengancam akan ‘’menyemprit’’ PSSI seandainya melenceng dari statuta dan kode etik FIFA, itu tetap akan dianggap sebagai bentuk campur tangan pemerintah.

Pengurus PSSI akan melapor ke Zurich, mereka dizalimi pemerintah dan juga media massa. Ketika salah seorang petinggi FIFA saya konfrontasi dengan fakta PSSI pernah dipimpin dari balik jeruji penjara selama beberapa tahun, dia mengelak.

‘’Semuanya sudah diselesaikan dalam kongres pada 2009 di Jakarta,’’ kata pejabat yang saya dengar juga akan hadir lagi di kongres PSSI bulan depan.

Memang, bagi yang belum pernah ke markas FIFA di Zurich, Anda akan mengalami pengalaman yang menyenangkan. Begitu masuk ke hall utama, Anda akan disambut sejumlah pegawai yang ramah dan menyenangkan.

Ruangannya sangat luas dan tertata rapi. Arsitekturnya begitu indah dan didesain menerima cahaya yang memadai. Meski mus-im dingin, ruangan FIFA terasa hangat.

Bahkan, karena pengunjung berasal dari banyak negara, di salah satu sudutnya ada meditation room yang pada praktiknya banyak digunakan untuk salat. Saya lihat ada beberapa sajadah di sana yang terlipat rapi.

Saya kira, pengurus PSSI kalau ke FIFA lebih sibuk bertemu dengan Jerome Valcke, Sekretaris Jenderal FIFA, dan Thierry Regennas, Direktur Asosiasi Sepak Bola dan Perkembangan.

Selama ini tak banyak yang mempertanyakan apa saja yang disampaikan FIFA ke PSSI. Dengan dana organisasi, mereka bisa memonopoli informasi sesuai seleranya. Bahkan, saking pede-nya, kadang pengurus PSSI tak memperhatikan informasi itu tak selaras dan menunjukkan inkonsistensi FIFA.

Misalnya, mengenai surat FIFA 6 Maret 2009 yang mengakui kepengurusan Nurdin (bahkan sebelum KLB di Hotel Mercure, Ancol). Yang jadi masalah, surat itu bertanggal 6 Maret 2009 sehingga sesungguhnya FIFA sudah mengakui sebelum kongres dilaksanakan 19-20 April 2009.

Atas fakta itu, sesungguhnya para petinggi FIFA agak malu ketika saya kejar dengan pertanyaan mengapa mereka tak konsisten? Ini sangat memalukan bagi orang Swiss yang terkenal efisien dan berpegang teguh pada hukum maupun etika.

*) Djoko Susilo bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com

Saturday 26 February 2011

Toko Buku Tolak Jual Buku Dosa Dosa Nurdin


membaca berita dibawah ini jadi heran saya
begitu kuatkah posisi Nurdin Halid sehingga toko buku saja tidak berani menjualnya?
la buku tentang Cikeas yang menyangkut presiden saja beredar bebas

Buku Dosa Dosa Nurdin Halid
Toko Buku Tolak Jual Buku Dosa Dosa Nurdin
Selasa, 22 Februari 2011 - 11:30 wib
Danang Prabowo - Okezone


YOGYAKARTA- Puluhan karyawan Galangpress menggelar aksi demontrasi di Tugu Yogyakarta. Aksi ini dilakukan sebagai protes karena toko-toko buku menolak menjual buku “Dosa Dosa Nurdin Halid”.

Dalam aksinya, mereka juga menjual buku karangan Erwiyantoro itu. Di dalam buku tersebut, Erwin memaparkan ada sembilan dosa Nurdin Halid saat menjabat sebagai ketua PSSI.

“Kami jual buku ini karena agen resmi penjual buku nasional tidak berani menjual buku ini. Padahal harganya buku Rp60 ribu, kalau di sini (Tugu,red) kami jual Rp50 ribu," kata Koordinator Galangpres Julius F Tualaka kepada wartawan, Selasa (22/2/2011).

Julius menambahkan, adanya buku ini diharapkan masyarakat luas maupun pengurus PSSI mengetahui keburukan Nurdin. "Nurdin tidak layak untuk menjabat sebagai ketua PSSI untuk ketiga kalinya. Banyak sekali kesalahan yang tidak bisa termaafkan," tegasnya.

Buku cetakan kedua ini, lanjut Julius, PT Galangpres sudah mencetak sebanyak 7.500 eksemplar. Namun, jumlah sebanyak itu sebagian besar tidak bisa diperjualbelikan di toko buku.

“Karena penjual buku nasional tidak mau menjual dengan alasan yang tidak jelas,” keluhnya.
Selain melakukan promosi, mereka juga mengusung spanduk dan melakukan orasi. Aksi jual buku ini akan berlangsung selama persediaan buku habis.

"Kami akan lakukan promo ini di beberapa kota di antaranya Jakarta, Malang, Surabaya, dan Semarang. Aksi jual buku ini akan berakhir pada konggres PSSI di Bali nanti," kata Julius.(kem)

Thursday 24 February 2011

Meluruskan Masalah Film Impor

artikel menarik yang saya temukan dari sini
Deddy Mizwar-Rudy Sanyoto: Meluruskan Masalah Film Impor

Oleh Lisabona Rahman
Kajian :: Selasa, 22 Pebruari 2011

Tulisan ini merupakan rangkuman dari pernyataan yang dibuat Deddy Mizwar dan Rudy S Sanyoto. Kedua nama ini adalah Ketua dan Wakil Ketua BP2N, namun pernyataan ini disampaikan sebagai pandangan mereka sebagai pribadi.

Berikut adalah isi pernyataan yang mereka sampaikan dalam jumpa pers tentang kebijakan film nasional dan masalah pajak film impor di Gedung Sapta Pesona, Kementrian Budaya dan Pariwisata di Jakarta pada Minggu 20 Februari 2011.


Karena di TV, Radio, koran, dan di twitter ramai tentang Hollywood akan berhenti mengirim film ke Indonesia, dengan alasan ada peraturan/regulasi baru, mereka akan dikenakan pajak yang tinggi (tanpa menerangkan nomer dan tanggal peraturan yang dimaksud), maka perlu diluruskan hal-hal sebagai berikut:

I. Tidak ada peraturan/regulasi baru yang akan mengenakan pajak yang tinggi dan merugikan usaha mereka, tapi SURAT EDARAN (SE) Dirjen Pajak No. 3 tanggal 10 Januari 2011 hanya menegaskan agar mereka (importir dan Hollywood) harus bayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan (UU pajak dan UU Kepabeanan) yang ada dan berlaku.

Dengan demikian :

* tidak merugikan negara dan bangsa Indonesia.
* keberadaan film asing tidak menekan perkembangan film nasional.
* tidak ada yang menjadi korban karena dianggap menyalahgunakan wewenang membantu penghindaran/penggelapan pajak impor film.

II. Pernyataan Noorca Massardi bahwa importir bayar 23,75% itu menyesatkan, seolah-olah telah kena beban yang tinggi, karena tidak diterangkan 23,75% itu terdiri dari pajak apa saja dan dari nilai berapa?

23,75% terdiri atas:

* BM (Bea Masuk): 10% dari Nilai Pabean.
* PPN (Pajak Pertambahan Nilai): 10 % dari (Nilai Pabean + BM) = 11% dari Nilai Pabean,
* PPH (Pajak Penghasilan): 2,5 % dari (Nilai Pabean + BM) = 2,75 % dari Nilai Pabean,

Nilai Pabean adalah nilai transaksi yang sebenarnya, yang dibayar atau akan dibayar untuk memperoleh barang/jasa yang diimpor tersebut. Nilai Pabean (NP) menjadi Nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak.

Berapa nilai pabean yang importir dan Hollywood laporkan ketika mengimpor? Wajar dan sudah benar sesuai peraturan yang berlaku?

Selama ini MPA dan importir telah mengelabui pajak dan Bea Cukai dengan mengaku hanya beli/jual dengan harga US Dollar (USD) 0,43/meter; atau + USD 1,000/copy, sehingga kalau mengimpor 1 judul film dengan jumlah:

* 1 copy (NP = USD 1,000), pajaknya 23,75% = USD 237,50 atau + Rp.2,1 juta.
* 5 copy (NP = USD 5,000), pajaknya hanya Rp. 10 juta?
* 30 copy (NP = USD 30,000), pajaknya hanya Rp. 60 juta?
* 50 Copy (NP = USD 50,000), + Rp 500 juta: Pajaknya USD 11,875 = + Rp. 110 juta.

Jadi rata-rata per copy hanya sekitar Rp 2 juta? Apa kata Dunia?

Sebagai perbandingan, Beban Pajak untuk film nasional:

* PPN per copy film = Rp. 1 juta (10% dari sekitar Rp. 10 juta),
* Rata-rata per judul 35 copy, dari cetak copy saja kena PPN Rp 35 juta?
* Kalau mencetak 100 copy, PPN yang harus dibayar mencapai Rp. 100 juta (biasanya untuk film besar atau menarik, yang ingin beredar serentak agar dapat meraup hasil edar yang cukup banyak, sehingga mampu mengembalikan biaya produksinya yang besar)
* Rata-rata beban pajak produksi film nasional adalah 10% dari budget, sehingga:
o ketika anggarannya Rp 5 milyar, beban pajaknya mencapai 500 juta, dan
o ketika anggarannya makin besar misalnya Rp. 15 Milyar, pajaknya mencapai Rp. 1,5 milyar. (beberapa kali lipat dari beban pajak film impor?)

III. Rupanya selama ini importir dan Hollywood tidak melaporkan harga transaksi jual/beli film impor secara benar. Mereka hanya melaporkan Nilai Pabean senilai biaya cetak copy-nya saja = USD 0,43/meter. Padahal Harga beli film tersebut bukan hanya itu, karena ada yang dibayarkan kemudian yaitu sebesar prosentase (%) tertentu dari hasil edar film tersebut.

Nilai Pabean dilaporkan sama untuk semua filmnya, baik yang blockbusters (produksi mahal dan peredaran sukses), maupun yang biasa-biasa saja (produksi murah dan peredarannya tidak sukses). Aneh? Sangat wajar, kalau dikoreksi Ditjen Bea Cukai dan Ditjen Pajak?

Menurut UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang kepabeanan, Nilai Pabean adalah Nilai Transaksi yang sebenarnya, yaitu yang dibayar atau yang akan dibayarkan oleh importir. Hasil edar yang wajib disetorkan ke Luar Negeri adalah komponen harga/nilai transaksi, sebagai suatu syarat dari perolehan hak edar film impor di Indonesia, (istilah pabeannya = Proceeds), harus dimasukan dalam nilai pabean yang harus diperhitungkan ketika membayar Bea Masuk (BM) dan PPN serta PPH ketika mengimpor film.

BM hanya 10% total pungutan impor 23,75% dari Nilai Pabean, maka Nilai nominal pajak akan makin membesar seiring dengan besarnya hasil edar film tersebut, sehingga sebesar apapun tetap tidak mungkin memberatkan, karena mereka masih memiliki 76,25% yang menjadi bagian importir/Hollywood.

Karena PPN dapat dikreditkan, PPH dapat diperhitungkan untuk PPH badan, maka yang benar-benar jadi beban importir film hanya BM 10% dari Nilai Pabean.

Perhitungan

Pelaksanaan dari UU Kepabeanan secara konsekuen dan benar, dapat kita lihat dari perhitungan sebagai berikut:

Data Box Office Mojo, (terlampir):

Hasil edar 65 judul film Hollywood di tahun 2010 = USD 85 juta (Rp.765 milyar)
atau rata-rata per copy USD 1,3 juta (Rp. 11,8 milyar).

Kalau 50% setor ke LN, dan itu dianggap Nilai Pabean (NP):

* NP per tahun = USD 42,5 juta (Rp 382 juta, dengan kurs Rp. 9.000/USD).
* NP per judul = USD 653 ribu (Rp 5,9 milyar)

Maka total pungutan impor sebesar 23,75% dari NP :

* per tahun = Rp 91 Milyar;
* per judul = Rp.1,4 Milyar;

Jumlah itu masih kecil sekali jika dibandingkan hasil edar film tersebut, sehingga tidak lazim meminta keringanan, apalagi mengajukan boikot, karena setelah dikurangi dengan Pungutan Impor, keuntungan film impor =

* per tahun : Rp (765 - 91) = 654 Milyar?
* per judul : Rp (11,8 - 1,4) = 10,4 Milyar?

Maka yang benar-benar jadi beban importir hanya Bea Masuk 10% dari Nilai Pabean, yaitu:

* BM per tahun = Rp 38,2 Milyar
* BM per judul = Rp.58juta;

Jadi, beban untuk pengimporan film asing masih kecil sekali dibandingkan hasil edar/keuntungannya; Beban tersebut juga masih lebih kecil (hanya 1/3) dibandingkan tarif di Thailand yang mencapai Rp 1,5 Milyar/judul.

Jadi permasalahannya adalah importir dan/atau Hollywood terbukti selama ini bayar pajak impor terlalu rendah, dengan cara melanggar ketentuan yang berlaku. Mereka telah melakukan self assesment yang salah. Bukan pemerintah yang menambah pajak dengan mengeluarkan peraturan pajak baru. Justru sangat tidak wajar kalau pemerintah tidak mengoreksi hal ini.

Mereka tentunya terancam akan ditagih hutang pajak yang bertumpuk sekian tahun, kemudian ketakutan ditagih sekaligus (plus bunga dan dendanya). Mungkinkah ini yang dimaksud sdr. Noorca Massardi bahwa pemerintah akan mengenakan pajak yang besar? Dia mendahului keputusan dinyatakan bersalah berdasarkan hasil audit Bea Cukai dengan cara ‘mencak-mencak mendiskreditkan pemerintah’, membangun opini publik, menciptakan ketakutan hilangnya film Hollywood dari bioskop dan ketakutan bioskop akan hilang dari Indonesia. Padahal seharusnya kita yang ‘mencak-mencak’, karena mereka selama ini telah berbohong dalam rangka menghindari pajak.

Akan berhasilkah mereka tidak dikejar kewajiban bayar hutang pajak sesuai ketentuan yang berlaku? Masihkan mereka mampu mengelabui petugas Bea Cukai dan Petugas Pajak sehingga tidak usah bayar pajak yang benar? Wajarkah beban pajak untuk film impor lebih kecil dari pajak untuk film nasional?

IV. Pernyataan Sdr. Noorca Massardi bahwa didunia ini tidak ada yang mengenakan pajak yang besar atas film impor adalah kebohongan besar.

Thailand mengenakan bea masuk (belum termasuk PPN) tinggi dan importir serta Hollywood serta semua produser asing yang ekspor ke Thailand terbukti tidak protes.

Tarifnya :
Per meter: 30 baht atau sekitar USD 1/meter,
Per copy @ 3000 m = USD 3.000.
Per judul @ 50 copy = 50 X 3.000 = USD 150.000 atau sekitar Rp 1,5 milyar.

Jumlah ini kelihatan besar tapi masih wajar karena :
Jumlah ini tetap tidak berat bagi importir dan Hollywood, karena film Hollywood seperti Avatar bisa memperoleh hasil edar Rp 70 milyar? Setelah dipotong BM Rp. 1,5 milyar masih untung Rp. 68,5 milyar.

Kalau hasil edar film impor diperkirakan tidak mencapai lebih dari Rp 1,5 milyar? Kalau memang tidak mau atau takut rugi seyogyanya tidak perlu impor bukan? Layar bioskop yang ada lebih baik untuk memutar film indonesia.

V. Sesuai dengan Pernyataan Presiden di sidang kabinet tanggal 23 Desember 2010 dan sesuai dengan UU no. 33 tahun 2009 tentang perfilman, kebijakan perfilman menyangkut film impor dan pajak impor yang harus dibayar sudah waktunya dibenahi demi eksistensi dan kemajuan kualitas dan kuantitas perfilman nasional serta perwujudan perannya sebagai alat pendidikan dan benteng budaya.

MPA juga pernah menggertak pemerintah Thailand ketika akan dikenakan pajak tinggi, tapi kemudian mereka balik lagi dan membayar pajak yang tinggi. Jadi, kelakuan MPA memang suka ‘gertak-boikot’. Masyarakat dan Pemerintah jangan terpengaruh, karena mereka akan jual mahal dan tidak menghormati hukum yang berlaku.

Di Indonesia mereka sudah senang karena tanpa quota. Bisa bebas mendatangkan filmnya dalam jumlah judul yang tidak terbatas Di Cina, hanya boleh 20 judul saja per tahun untuk seluruh film asing.

VI. Sebaiknya diberlakukan saja ketentuan yang ada. Kalau mereka tidak mau, masih banyak film asing independen yang bagus dan belum beredar di Indonesia.

Jakarta, 20 Februari 2011

Saturday 12 February 2011

Website Grader - tools buat ranking web


Pagi ini mencoba fasilitas gratis dari web site Grader

hasilnya cukup lumayan tapi perlu perbaikan di sana sini agar website Sahabat Buku semakin menarik banyak pengunjung.

Monday 31 January 2011

TENTANG BUKU SERI LEBIH DEKAT DENGAN SBY YANG BIKIN HEBOH


BUKU SERI LEBIH DEKAT DENGAN SBY
akhir akhir ini sering dihebohkan baik oleh politisi, pengamat maupun masyarakat.
dibumbui bombastis dari media yag gencar memberiakan masalah ini. Bahkan dibikinkan semacam talkshow kusus membahas buku ini.
Padahal menurut saya buku ini biasa saja tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Buku ini jenisnya buku pengayaan atau buku untuk umum bukan buku pelajaran.Dan diterbitkan tahun 2009.
dan pusat perbukuan Kemdiknas sudah menilai dan meloloskan buku ini untuk diterbitkan.
Kalo kemudian ada pihak pihak tertentu yang mengunakan DAK untuk membeli buku ini dan kemudian diedarkan ke sekolah sekolah ya mereka ini yang perlu ditanyai, apa motif dibaliknya.
apakah ada instruksi langsung dari Presiden? atau murni inisiatif dari pejabat tersebut.

saya saja belum display buku ini di web Sahabat Buku karena pertimbangan yang order mungkin masih sedikit karena saat ini banyak yg sedang anti SBY terutama media. Tapi setelah diperdebatkan saya jadi kepingin display buku ini di web Sahabat Buku ...
niat oportunisnya muncul seketika ...:D
ya sapa tau ada yg penasaran dan pingin beli bukunya.

sebagai informasi berikut detail bukunya:

judul : BUKU SERI LEBIH DEKAT DENGAN SBY
Tahun : Cet-1, Juni-2009
Dimensi : 14,5x21, HVS - 70gram
ISBN : 979-692-947-3
Harga Buku : 474,500.00 ( Harga paket 10 judul )


Buku terbitan terbaru dari kami, merupakan satu set buku seri "LEBIH DEKAT DENGAN SBY". terdiri dari 10 Judul, yaitu:
1. Jalan PAnjang Menuju Istana.
2. Menata Kembali Kehidupan Bangsa.
3. Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan.
4. Adil Tanpa Pandang Bulu.
5. Peduli Kemiskinan.
6. Memberdayakan Ekonomi Rakyat Kecil.
7. Diplomasi Damai.
8. Berbakti Untuk Bumi.
9. Jendela Hati.
10. Merangkai Kata Menguntai Nada.

'Bagaimana ?
ada yang tertarik beli buku ini?
silakan kontak saya, tersedia harga per satuan

Monday 17 January 2011

Kisah Sang Raja dan Bibit Pohon

Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Bibit yang kau tanam, tak selalu tumbuh menjadi pohon rindang dengan buah ranum yang lebat.

Jaman dahulu kala, di China kuno hiduplah seorang raja bijaksana. Rakyatnya hidup makmur dan damai, tak pernah ada kekurangan dan kelaparan di negri tersebut. Pada suatu hari, sang raja merasa lelah dan sudah tua, sudah saatnya ia mencari pengganti dirinya. Namun sayang sekali, ia tak memiliki seorang anak. Maka ia mengutus punggawa kerajaan untuk mengumpulkan 5 pemuda cerdas di negrinya.

Setibanya di dalam kerajaan, kelima pemuda tersebut ternganga melihat indahnya istana raja. Mereka memberi hormat dan menunggu titah sang raja. "Wahai pemuda-pemuda tampan, cerdas dan bijaksana, hari ini aku akan memilih salah satu di antara kalian menjadi penggantiku," titah sang raja. Semua pemuda terdiam dan terkejut, mereka tak menyangka bahwa raja akan memberikan tahtanya pada mereka, namun siapa gerangan yang akan ditunjuk menjadi pengganti raja? "Untuk menjadi penggantiku, kalian harus mengikuti satu ujian yang akan kuberikan," sambung sang raja.

Sang raja kemudian mengambil 5 buah kantong, yang masing-masing kantong terdapat sebuah biji bibit pohon. "Tanam, rawat dan siramlah bibit ini dengan segenap hati kalian. Kembalilah kepadaku setelah satu tahun dari sekarang, kita lihat bagaimana hasil tanaman yang kalian rawat. Dari hasil tanaman tersebut aku akan memilih salah satu dari kalian menggantikan diriku," titah raja.

Semua pemuda bergegas kembali ke rumah mereka dan mencari tanah yang baik untuk menanam benih yang diberikan oleh sang raja. Demikian juga Ling, salah satu pemuda jujur yang dipanggil sang raja. Ia bergegas menemui ibunya, dan memberitahukan kabar tersebut. Ling dibantu sang ibu kemudian mencari tanah terbaik dan meletakkannya di sebuah pot. Setiap hari Ling selalu merawat, menyirami benih tersebut. Namun hingga bulan ke dua, ketiga, hingga bulan-bulan berikutnya tak sesentipun benih tersebut tumbuh. Padahal menurut teman-temannya, benih mereka sudah tumbuh menjadi pohon yang subur dengan buah-buah yang mulai muncul. Ling pun sedih, ia sadar bahwa ia telah gagal. Semakin mendekati hari pertemuan di istana, ia semakin bingung. Ia takut bahwa raja akan menghukumnya, namun sang ibu memintanya agar tetap jujur dan bersabar.

Tiba hari di mana sang raja akan memilih pengganti, semua pemuda diminta kembali ke istana dengan membawa semua hasil tanamannya. Dengan sedih, Ling membawa sebuah pot kecil berisi bibit yang tidak tumbuh. Ia tertunduk lesu, sementara semua teman-temannya membawa pohon di pot besar, ada yang berbunga indah, ada pula yang berbuah lebat.

Melihat Ling membawa pot kosong sang raja tertawa, "bagus sekali usahamu," seluruh isi istanapun tertawa melihat Ling yang tertunduk lesu. Raja berkeliling dan melihat tanaman-tanaman lain yang menjulang dengan gagah dan indahnya. Terkagum-kagum, raja memandangi tanaman dengan buah ranum yang subur sambil sesekali mengangguk-angguk.

Raja pun meminta masing-masing maju, bercerita tentang usahanya, dan tibalah pada giliran Ling, yang maju bersama sebuah pot kosong "Nama saya adalah Ling," katanya. Sekali lagi seluruh ruangan riuh ramai menertawakannya. Ada yang meneriakkan kalimat-kalimat ejekan pedas yang membuat Ling semakin malu dan sedih. Sang raja kemudian berkata, "baiklah, aku sudah menemukan siapa yang akan menjadi penggantiku." Ruanganpun senyap seketika menantikan titah raja selanjutnya. Ia kemudian menggandeng tangan Ling, dan mengumumkan Ling sebagai penggantinya. Seketika semua orang terkejut, namun mereka tertunduk memberikan hormat.

"Sebenarnya, bibit yang kuberikan pada kalian setahun lalu adalah bibit yang sudah busuk. Sangat tidak mungkin menghasilkan tanaman yang lebat dengan buah-buah ranum dan bunga-bunga indah dari mereka. Ling, adalah pemuda yang jujur dan berani. Ia membawa sebuah pot kosong dengan bibit yang tidak tumbuh. Untuk itulah aku memilihnya sebagai penggantiku. Ingatlah wahai rakyatku, saat kau menanam sebuah kejujuran, maka kau akan menuai kepercayaan. Saat kau menanam kebaikan, maka kau akan menuai persahabatan. Saat kau menanam kerendah hatian, kau akan menuai kebaikan hati sesama. Saat kau menanam kedamaian, maka kau akan menuai kemenangan. Saat kau menanam kerja keras, kau akan menuai kesuksesan. Saat kau menanam kesabaran, maka kau akan menuai hasil berlebihan. Saat kau menanam keyakinan, kau akan mendapatkan sebuah keajaiban..."

Sebaliknya, apabila seseorang menanamkan ketidakjujuran, maka ia tak akan dipercaya. Saat ia menanam keegoisan, maka ia akan kesepian. Saat ia menanamkan gengsi, ia akan hancur sendiri. Saat ia menanamkan kecemburuan, ia akan menuai celaka. Saat ia menanam kemalasan, ia akan menuai kemiskinan. Saat ia menanamkan keserakahan, ia akan menuai kekurangan. Saat ia menanam dosa, ia akan menuai hukuman.