-----------------------------------------------------
Ongkos logistik yang mahal dan kebijakan pemerintah
Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyatakan bahwa biaya logistik di Indonesia adalah tinggi dan menjadi sumber ekonomi biaya tinggi. Kalau diukur dari PDB maka ongkos logistik Indonesia antara 20-25%. Kalau diukur dari harga jual produk, ada yang mengatakan bahwa ongkos logistik sekitar 25-30% dari harga jual produk ke pelanggan. Pertanyaan yang menggelitik: Apakah memang demikian? Mengapa ongkos logistik yang tinggi itu terjadi? Kebijakan apa yang perlu diterapkan oleh Pemerintah untuk menurunkan biaya logistik?
Mari kita lihat apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain.
Logistik mempunyai dua mata pisau: sebagai pemampu yang memungkinkan terjadinya transaksi dan sebagai beban biaya yang harus dikeluarkan. Semakin tinggi nilai tambah dari waktu, lokasi, dan kuantitas dari kegiatan logistik, maka semakin baik bagi perputaran ekonomi. Di lain pihak, semakin panjang rantai logistik, maka semakin mahal. Bagaimana mengatahui bahwa rantai logistik itu mahal? Salah satunya adalah dengan menggunakan metode waktu/biaya - jarak yang menggambarkan keterkaitan biaya dan waktu dalam proses transportasi (lihat http://www.unescap.org/ttdw/common/TFS/ImprovingTx/VV1/All/Introduction-Time-Cost.asp). Kalau garis transportasi semakin vertikal maka ada yang tidak beres pada transportasi. Ada hambatan atau kemecetan yang perlu diselesaikan. Identifikasi di mana masalah adalah langkah pertama dalam mencari solusi.
Apakah sudah ada studi yang mengukur mahalnya biaya logistik? Hasil penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat (LPEM UI) pada tahun 2005 menunjukkan biaya logistik di Indonesia mencapai 14,08 persen dari total biaya produksi, sementara di Jepang hanya 4,08 persen (lihat http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2005/09/12/brk,20050912-66475,id.html). Apakah ini data yang valid?
Mengapa ongkos logistik mahal?
- apakah karena konektivitas yang jelek terutama prasarana jalan, pelabuhan, dan antar moda?
- regulasi (aturan main) yang tidak jelas? siapa yang bertanggung jawab atas penurunan biaya, apa insentif bagi perbaikan?
- perilaku manusia (kartel dan perkoncoan ataupun kong-kalikong) pada prinsipnya bagi-bagi rejeki?
- lemahnya teknologi termasuk ICT?
Bagaimana memperbaiki keadaan? Dari sisi perusahaan dapat menerapkan pembiayaan logistik (lihat https://fisher.osu.edu/supplychain/pdf_files/SCCOSTING.pdf) yakni bagaimana bisa memperbaiki waktu, mutu, biaya, dan fleksibilitas.
Kalau antar perusahaan (dalam level industri secara keseluruhan), dapat dilakukan perbaikan dalam arena: kolaborasi, segmentasi, koordinasi, optimisasi sistem, standardisasi, dan liberalisasi. (lihat http://www.cefic.org/Documents/IndustrySupport/supply_chain_excellence.pdf).
Apa kita-kita jawaban kita bila ada yang bertanya kebijakan apa yang dapat dijalankan Pemerintah Indonesia (mungkin kementrian perhubungan) dalam menekan mahalnya ongkos logistik ini?
Salam,
Togar
------------------------------------------------------------------------------------------------
Terimakasih prof Togar atas pemicu idenya..
Ada beberapa pertanyaan saya:
1. Sebenarnya bagaimana menghitung ongkos logistik sebuah barang? Sehingga kita bener-bener tahu seberapa mahalnya?
2. Tentang peran pemerintah. Kalau melihat master plan pengembangan ekonomi indonesia - uu no 32 thn 2011, ada bbrp kementerian yg tergabung untuk membenahi sist perekonomian, termasuk di antaranya sist logistik. Nah, salah satunya kementerian perdagangan. Apa peran yg sebaiknya mereka ambil? Tentunya selain kementerian perhubungan..
Mohon pencerahannya..
Terimakasih
Rini
-----------------------------------------------------------------------------------
- Consumer Goods : 1% - 7%.
- Electronics : 3% - 10%.
- Mining, Oil & Gas : 0.5% - 3%.
- Automotive : 0.5% - 3%.
- Chemical : 3% - 7%.
- Textile : 2% - 7%.
- Pharmaceutical : 0.25% - 3%.
- Others : 1% - 7%.
---------------------------------------------------------------
-----------------------------------------------------------------------
Salam pak Togar,
Di tempat saya bekerja, rata-rata logistic cost berkisar 17%-20% dimana alokasi terbesar pada biaya gudang. Ini pun masih jauh dan belum menggunakan sistem transportasi maupun pergudangan secara modern. Ini masih di luar biaya sistem ERP yang mendukung logistik dimana penggunaan SAP termasuk cukup besar kontribusinya pada biaya secara keseluruhan. Kadang terasa memprihatinkan, pakai SAP kok tidak optimal infrastrukturnya...
Meski tidak memiliki data akurat, saya melihat bahwa pergudangan menjadi biaya besar dalam bisnis kami - karena transaksi distribusi tidak seperti consumer goods - salah satunya dipicu tingginya biaya gedung yang saya lihat bukan saja kompleksitas masalahnya seperti tingginya harga bahan bangunan, rumitnya perizinan, biaya konstruksi, biaya maintenance yang mahal karena harga spare part pendukung pun tidak murah (misal, harga batere forklift saja yang second bisa mencapai 40 jt untuk forklift 2 ton), belum lagi hak guna bangunan di negara ini hanya 1/3 dari China (70 th) apalagi Thailand (80th), dan juga tambahan angka 'catutan' selama pembangunan gudang. Di Pulogadung, gudang baru hanya dengan fasilitas docking bisa lebih dari 60 ribu per meter tanpa ERP! Sewa pergudangan menjadi sangat mahal dan tidak kompetitif sehingga banyak perusahaan 3PL service berkelana mencari land lord ke pinggiran-pinggiran meski mereka punya nama besar di dunia internasional.
Mengenai transportasi, saya masih menggunakan jasa transporter yang jauh dari kelas dunia, tanpa tracking, kalau mau tahu tracking ya telp dulu, beberapa jam baru tahu statusnya, masih lemah safetynya dan jangan bermimpi punya laporan compliance CO2 report Euro II meski dari principle kami memintanya. Ini terjadi bukan saja karena beratnya menanggung target penurunan biaya atas logistic cost dan terlalu besarnya gap biaya antara transporter dengan service level yang 'hanya' sedikit di atas servicenya. Sebagai contoh, transporter kami sanggup mengganti 100% barang hilang tapi tanpa traceability via internet seperti transporter lain, padahal jika dibandingkan, biaya pengiriman ke Surabaya 'cuma' 25% dari kebanyakan transporter. Tentu para pengusaha truk tahu persis soal rute balikan. Tentu saja para pengusaha truk masih berani memainkan harga lebih rendah asal tidak ada tembak2an SIM, KIR, tebar kotak korek api, harga spare part truk sepanjang jalan plus jalan mulus tanpa macet - karena yang ini jelas-jelas besar pengaruhnya terhadap umur pakai spare part dan konsumsi bahan bakar, dan tentu saja, harga bahan bakar.
Kelihatannya saya pesimis sekali, namun logistik itu masalah kompleks karena pemutar roda ekonomi yang tidak bisa diproses tanpa dukungan yang terintegrasi. Kesalahan kebijakan publik atas pra sarana logistik dijamin halal akan menguliti keberlangsungan biaya secara keseluruhan. Sebagai contoh, meski tiap tahun kita sibuk dengan perbaikan jalur pantura di Jawa Barat tapi juga tidak membangun jalur yang sama baiknya sebagai penghubung antara sumber industri dan jasa dengan customernya, tidak akan terbangun secara terintegrasi dan tidak akan serta merta menurunkan biaya logistik. Dalam sejarah, pembangunan jalur Daendels memang meningkatkan kontribusi besar secara ekonomi, namun membunuh perlahan pelabuhan Cilacap, Tegal, Cirebon, dan harga komoditas dari daerah selatan Jawa Tengah yang melalui pelabuhan naik 30%. Apa kita nggak bosan melihat transporter Jakarta ke kota-kota di Sumatera, satu kota harus satu perusahaan ekspedisi akibat biaya tambahan jika multiple destination? Bagaimana perusahaan transporter akan maju jika mereka hanya melayani Jakarta - Medan saja? Bandingkan dengan jalur Jakarta - Surabaya, kita masih bisa menggunakan satu truk dari Jakarta dan menurunkan barang di beberapa tempat. Itupun, efisiensi transporter masih belum sepenuhnya baik, karena setelah Semarang, mungkin truk 4 ton tinggal mengangkut 1 ton ke Surabaya!!!! Jika tingkat fulfilment transporter di atas (estimasi kasar saya) 70% di setiap titik destinasi, maka saya yakin biaya transportasi akan turun bisa mencapai 20%. Ini menunjukkan bahwa kebijakan bukan hanya urusan bahan bakar, jalan, perizinan, tetapi lebih strategis seperti program-program jangka panjang, lay out antar daerah, keseimbangan kebijakan pusat dan daerah, dan lain-lain. Dalam kacamata besar, blue print seperti GBHN saya pikir masih diperlukan, asal terstruktur baik.
Saya sangat berharap pemerintah serius membuat kebijakan strategis yang terintegrasi sehingga saya bisa menikmati mangga di Jakarta dengan di daerah tidak besar gapnya dan bukan kebijakan PU membuat jalan besoknya PLN gali lubang pasang kabel listrik dan besoknya lagi Telkom pasang kabel optik, lalu hari minggu enak2-nya tidur, kita ngomel2 karena air mati, listrik mati, telp mati karena PDAM menggali lagi buat pasang pipa baru!!! :D
Hanya dua 'kethip'...
Salam dan mohon maaf kalau tidak berkenan.....
Adi N